DATANGNYA GERHANA

78 5 0
                                    


Hari kedua Golan nggak masuk sekolah. Dia masih demam tinggi. Kata Bang Gibran waktu nganter gue tadi pagi, Golan mengeluh pusing dan persendiannya sakit. Lidahnya pahit dan lemas. Kemarin siang sudah periksa ke dokter. Kata dokter sih kemungkinan kena typus.

"Nanti siang lu nggak usah jemput gue ya, Bang. Gue mau bareng Aura."

"Sekarang kalian akur banget?" Tanya bang Gibran.

"Kita sekarang cocok, bang. Aura ternyata anaknya seru. Oh ya, mau titip salam nggak buat Aura?"

"Boleh...."

"Cieee...." Bang Gibran nyengir. "Ntar gue sampaiin, Bang. Tenang aja. Makasih ya, Bang. Hati-hati ya...."

"Hati-hati juga, Neta...." Gue melambaikan tangan. Bang Gibran segera berlalu. Dia ada kuliah pagi. Tak lama mobil Aura sampai.

"Netaaaa!" Teriaknya. Gue berhenti. Menunggu dia turun dari mobil. Lalu berjalan bareng memasuki areal sekolah. "Golan gimana?" tanyanya.

"Masih demam."

"Oh...."

"Oh ya, tadi dapat salam dari bang Gibran lu."

"Ah, yang bener?" Dia jadi blingsatan.

"Sumpah deh."

"Eh, Net,boleh nggak kapan-kapan gue titip surat buat bang Gibran?"

"Lu nyuruh gue jadi mak comblang gitu?"

"Please lah, Net...."

"Hemh...."

"Please...."

"Iya deh, ah."

"Nah, gitu dong, Net....."

*

Golan akhirnya dirawat di rumah sakit. Kondisinya sangat lemah. Nggak mau makan dan minum. Jadi harus diinfus. Dia positif kena Demam Berdarah Dengue. Setiap pulang sekolah, gue dan bang Gibran langsung ngejenguk dia ke rumah sakit. Gue sudah bawa baju ganti, sehingga bisa ngejagain dia sampai sore. Bang Gibran biasanya nganter ibu pulang agar bisa istirahat lalu lanjut pergi kuliah.

"Lu musti makan, Go. Biar cepet sembuh."

"Lidahku pait, Net."

"Kalau lu nggak mau makan, besok siang gue nggak mau jagain lu lagi! Biarin aja di rumah sakit sendirian! Ditinggal ibu pulang. Bang Gibran juga kuliah." Kalau udah gue ancem gitu, biasanya dia nurut. "Ayo cepet buka mulut! Ni gue suapin!"

"Jangan galak-galak...."

"Makanya yang nurut!" Gue suapi dia, paling bubur tiga sendok.

"Udah, Net. Mual. Nanti gue muntah." Ya udah lah, lumayan.

"Go, lu musti segera sembuh. Lu inget kan tanggal 29 Februari cuma terjadi empat tahun sekali?"

"Emang kenapa sama 29 Februari?"

"Payah lu, lupa sama ultah gue."

"Oh, iya, ya...."

"Makanya lu cepet sembuh. Biar bisa gue traktir mie ramen di restoran jepang yang ada di mol tengah kota itu lho. Kalau lu nggak sembuh-sembuh ya traktirnya di tukang bubur ayam depan perumahan aja. Kan makanan lu selama sakit bubur mulu."

"Iya, doain dong biar aku cepet sembuh."

"Gue berdoa terus buat lu kali, Go." Gue lirik dia. Dia cuma tersenyum. Apa iya dia memendam rasa sama gue kayak yang dibilang Aura? "Gue pengen saat gue ultah nanti, kita ngerayainnya di loteng, Go. Kita ajak juga Bang Gibran dan Aura. Kita hias loteng dengan balon dan kertas krep warna-warni. Trus ada tulisan It's Neta Day di kertas asturo hitam yang digunting segitiga terus ditempel di dinding pakai benang kasur. Nah nanti kita ngelihat bintang sambil makan roti bakar bikinan bang Gibran. Asyik nggak menurut lu?" Dia cuma mengangguk-angguk sambil tersenyum. "Makanya lu musti rajin makan obat dan makan yang banyak. Biar cepet sembuh ya, Go. Biar bisa kasih gue surprise birthday cake."

Kerlip di LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang