UN sudah gue lalui dengan selamat. Gue juga udah mengikuti tes masuk perguruan tinggi dengan lancar. Dan gue diterima di sebuah perguruan tinggi negeri di Yogya. Jurusan Psikologi seperti yang gue cita-citakan. Tujuan gue ambil jurusan Psikologi hanya satu, yaitu nyembuhin jiwa gue yang rapuh dan ngobatin hati gue yang penuh luka. Ya pokoknya nyembuhin diri sendiri dulu deh. Siapa tau setelah lulus gue juga bisa nyembuhin jiwa dan hati orang lain. Pokoknya nggak mau rugi aja deh gue!
Gue, papa, dan mama seneng banget dengan anugerah ini. Nggak sia-sia gue ikut bimbel dari kelas XI untuk persiapan. Dulu gue pernah curhat sama Bang Gibran,"Gue nggak bisa masuk kelas IPA bang. Nggak bisa kayak Golan. Hasil tes IQ gue dan nilai pelajaran eksakta gue di rapot mepet banget." Dan gue inget bener apa kata Bang Gibran waktu itu,"Orang sukses tuh nggak harus masuk kelas IPA, Net. Kalau lu masuk IPS tapi lu ngejalaninnya dengan gembira dan sungguh-sungguh, lu akan jadi anak IPS yang bermutu. Siap bersaing. Kan kesuksesan seseorang itu nggak cuma ditentukan oleh nilai matematikanya saja. Jadilah anak IPS yang mencintai jurusan dan pelajarannya. Maka kamu akan jadi anak IPS yang sukses."
Bang Gibran benar. Gue ngejalanin tiga tahun masa-masa di SMA sebagai anak IPS yang bahagia. Bukan anak IPS yang terpaksa. Siapa bilang kelas IPS itu kelas buangan? Kelas IPS itu keren tau! Dari kelas itu, gue bisa belajar lebih banyak Bahasa Inggris dan bahasa asing. Belajar tentang ilmu-ilmu kemasyarakatan dan kemanusiaan. Jadi lebih banyak belajar cara bicara di depan umum. Lihat aja tampang anak-anak IPS! Kayak gue juga nih! Mereka lebih ceria, kreatif dan luwes.
"Ma, tapi Neta belum ngeh daerah Yogya, Ma."
"Coba kamu hubungi Gibran. Dia pasti mau ngebantu cari tempat kost dan proses daftar ulangnya."
"Apa nggak ngerepotin?"
"Kita udah kayak keluarga kan, Net? Coba aja kasih tau dia. Dia pasti seneng banget kalau denger berita ini. Ayah dan ibunya pasti juga seneng banget."
Dan benar. Bang Gibran seneng banget saat gue hubungi dia lewat telpon. Sudah dua tahun kami nggak saling memberi kabar. Nggak pernah saling telpon atau terhubung lewat medsos. Dan saat gue telpon dia, dia nyaris nggak percaya kalau yang nelpon itu gue.
"Suara lu agak berubah Dek. Lebih dewasa. Dulu kan suara lu cempreng banget." Godanya.
"Ih, abang apaan sih bang! Dari dulu suara gue ya emang merdu gini tau. Suara abang tu yang sekarang jadi jawa banget."
"Ya, ya, iya deh. Ya udah, lu naik kereta aja. Nanti gue jemput di Stasiun Tugu. Lu pastiin lagi tanggal dan jam keberangkatan lu. Trus kasih tau gue ya. Biar gue jemputnya on time."
"Bener lho ya. Awas aja kalau jemputnya molor."
"Ya enggak lah. Dari dulu kalau nganter dan jemput lu ke sekolah kan on time mulu. Lu belum mandi aja gue udah panasin mobil. Lu belum keluar kelas aja gue udah nungguin di halte. Kurang on time gimana?"
"Iya deh. Emang abang gue yang paling the best deh. Ya udah ntar gue kabari lagi ya bang. Terimakasih banyak sebelumnya. Gue seneng banget bisa denger suara lu lagi bang."
"Iya, Neta. Sama-sama. Gue juga seneng terhubung lagi sama lu. Sampai ketemu di Yogya ya, Net."
Dan bang Gibran ngejemput gue di stasiun jam 04.00 tet. Waktu gue turun dari kereta dan celingak-celinguk, tiba-tiba ada cowok berambut gondrong ngedeketin gue. Gue sempat kaget.
"Neta....welcome to Yogyakarta Hadiningrat...." Gue masih bengong. "Ini gue...."
"Hah? Bang Gibran? Ya ampun! Gue pangling!"
"Tambah ganteng gue ya?"
"Idih!" Emang sih. Bang Gibran jadi tampak jauh lebih dewasa. Badannya lebih besar dan lebih tinggi dibanding dulu.
"Lu tambah tinggi ya, Net. Wah, masih main basket?"
"Masih dong, Bang."
"Tambah cantik juga."
"Ih, subuh-subuh udah ngerayu. Ntar cewek abang marah!"
"Gue masih single, Neta...."
"Hah? Dari dulu lu jomblo mulu? Nggak laku lu bang? Hahahaha"
"Ssstttt, jangan kenceng-kenceng ngomongnya. Lu sendiri emang udah punya pacar?"
"Jomblo juga sih." Kami berdua tertawa.
"Ya udah, sesama jomblo nggak boleh saling ngehina. Oh ya, sini mana gue bawain koper lu. Buset deh, cewek kalau pergi, barang bawaannya segambreng udah kayak pindah rumah!" Dua tahun tak bertemu dan tak berkomunikasi sama sekali membuat gue dan bang Gibran agak canggung. Tapi lama-lama kami jadi terbiasa lagi seperti dulu.
Gue diajak ke rumah keluarganya. Jumpa kembali sama ayah dan ibu. Ibu memeluk gue erat-erat, katanya kangen. Bahkan kami sampai menangis terharu. Dan sudah pasti, kalau lihat gue, ibu pasti akan ingat sama Golan. Gue juga. Ya seandainya dia masih ada, pasti saat ini dia juga sedang sibuk persiapan masuk kuliah seperti gue. Ibu seneng banget bisa lihat gue lagi.
Berkat bantuan Bang Gibran, gue bisa mendapatkan tempat kost yang bagus di dekat kampus. Bang Gibran juga yang nganterin gue mondar-mandir daftar ulang. Sampai nemenin gue belanja barang-barang yang dipakai untuk OPSPEK di pasar.
Sebenarnya Bang Gibran nawarin antar jemput ke kampus seperti waktu gue masih SMA dulu. Tapi gue nggak mau. Dia udah sibuk banget dan gue nggak mau bikin dia kerepotan. Dia udah sangat baik, terlalu baik malah, jadi gue harus tau diri. Gue bisa naik angkutan umum atau jalan kaki. Dan tak lama lagi sepeda motor gue mau dipaketin mama agar gue bisa ke kampus pakai sepeda motor.
Bang Gibran juga nganterin gue ke makam Golan. Inilah saat pertama kalinya gue ke makam Golan. Di sebuah makam keluarga yang teduh di pinggir pemukiman. Gue berdoa buat Golan, supaya damai dan bahagia jiwanya. Gue berlama-lama duduk di sebelah batu nisannya sambil ngomong sendiri. Seolah-olah sedang ngomong sama Golan.
Gue ceritain semua hal yang gue lalui sendirian sejak dia pergi. Tentang cerpen-cerpennya, tentang Aura, tentang loteng, tentang turnamen basket gue, tentang bakso dekat Kantor Pos, tentang pohon mangga di depan laboratorium fisika, tentang pesta kelulusan di sekolah, dan tentang kemajuan permainan gitar gue. Gue yakin, di tempatnya sana, Golan ngedengerin cerita gue. Gue jumpa lagi dengan Golan di Tata Surya ini. Gue di bumi dan entah dia di planet yang mana. Bang Gibran nungguin gue di pintu gerbang makam sampai gue merasa cukup dan selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kerlip di Langit
Teen FictionPersahabatan antara 2 anak SMA, Golan dan Neta. Mereka sejak kecil sudah bersama. Melalui suka duka dalam pertumbuhan mereka memasuki masa remaja. Saling menyayangi, saling menjaga, dan saling melndungi menjadi roh mereka dalam menjalin sebuah persa...