Aku masuk ke sekolah asrama yang mayoritas siswanya adalah anak-anak orang kaya. Aku masuk ke sini bukan karena keinginanku. Eommaku ingin aku masuk ke sini. Aku hanya ingin menyenangkan hatinya saja. Eommaku membesarkanku sendirian. Aku ingin membuatnya bangga. Hanya tiga tahun saja, apa susahnya.
Tapi pada akhirnya aku harus mengakui sekolah di tempat seperti ini sangat sulit. Para siswa hanya mengutamakan nilai akademis mereka agar bisa masuk ke universitas bagus. Mereka akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai seperti itu. Bahkan tidak ada lagi kata 'teman' di bawah atap asrama.
Aku tidak sepintar itu untuk mendapat nilai akademis yang bagus. Memuaskan saja tidak apalagi bagus. Jadi kalian bisa tahu seberapa menyedihkan nya diriku ini. Tapi tunggu dulu, aku ini gadis yang cantik dan manis. Aku juga berbakat, tapi tidak untuk akademis. Aku dan beberapa siswa lain yang memiliki permasalahan yang sama membuat sebuah kelompok belajar. Pada akhirnya kami tidak hanya belajar bersama saja tapi juga mencoba untuk percaya satu sama lain dan mengandalkan satu sama lain.
Aku. Kami. Para siswa yang masuk dalam kalangan minoritas di sekolah. Kami tak pernah dianggap. Kurasa jika kami mati di hadapan mereka pun mereka tak akan peduli. Percuma saja melakukan hal-hal yang mereka lakukan. Belajar dan terus mengejar nilai agar bisa jadi yang terbaik. Pada akhirnya kita semua akan duduk di kursi roda dan disuapi. Tapi tentu saja kursi roda kami akan berbeda. Kursi roda kelas atas dan kursi roda kelas bawah. Mau bagaimana pun juga mereka nanti akan tetap berada di tempat yang tidak akan pernah kami—para kalangan minoritas—jangkau.
Aku dan teman-temanku hanya ingin mencoba menjadi siswa SMA yang sewajarnya. Kami hanya ingin menikmati masa-masa ini tanpa peduli berapa nilai sekolah kami. Memang sih itu sedikit keterlaluan. Mau bagaimanapun kami seharusnya tetap memperhatikan nilai kami, tapi itu sudah usahakan. Kami sudah bekerja keras.
Ujian semester kali inilah yang paling membuatku bekerja begitu keras. Tapi apa daya, aku masih tetap menjadi peringkat 153 dari 200 siswa. Aku memang bukan yang paling belakang, tapi apa pantas gadis sepertiku mendapat nilai seperti itu? Eommaku adalah seorang yang terpandang, tidak seharusnya aku begini. Eommaku begitu pengertian soal nilaiku di sekolah. Dia benar-benar tahu kalau nilaiku tidak akan pernah besar. Sampai dia bisa melihat ayam melahirkan dihadapannya pun nilaiku tidak akan mungkin bagus. Dia sudah menyerah untuk membuat nilaiku bagus.
"Eomma rasa ini memang batas kerja dari otakmu. Kapasitasnya kecil sekali.." begitu katanya. Dia berkata begitu sambil tertawa. Dia eomma terbaik sepanjang masa. Mungkin orang tua mereka seharusnya begini. Tapi kalau orang tua mereka begini, ada kemungkinan kehidupan mereka akan lebih parah dariku. Huh..
***
"SINHUI! MINA! EUNWOO! DONGHYUK!" Aish! Lari lebih cepat.. lebih cepat lagi Sinhui.. dia mengejarmu..
"Mau kemana kalian?! Ke ruangan kepsek sekarang!!" Aish!
***
"Choesonghamnida" aku menunduk.
"Kalian semua! Buat surat permintaan maaf!"
"Ya.." kami menjawab dengan serempak. Aku berjalan keluar ruangan setelah semua temanku keluar. Saat aku membuka pintu, seorang siswa masuk dan menabrakku. Sekarang dia tepat diatasku. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas—wajahku tertutup kertas.
"Gwaenchanayo?" suara siswa itu terdengar berat. Apa dia laki-laki.
"Ne, gwaenchana.." aku bangkit dengan cepat. Aku terpaku saat melihat wajahnya. Aku merasa kecil saat melihatnya sedekat ini ditambah dengan insiden barusan. Dia itu Hanbin. Siswa peringkat satu di angkatanku. Siswa yang paling berpengaruh. Orangtuanya juga adalah salah satu dari orangtua-orangtua yang menyumbang untuk pembangunan fasilitas di sekolah. Sedangkan aku apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
IKON FanFiction
FanfictionCuman Oneshoot kok gak panjang-panjang~ Coba dibaca dulu aja~ kali baper.. (ups.)