Wajahmu Nampak murung. Ini baru pagi tapi kau sudah menghela nafas lelah disepanjang langkahmu menuju sekolahan. Lebam menghiasi wajahmu yang semula mulus. Dan seragam lengan pendek yang kau kenakan menampakkan sedikit perban melingkar di lengan atasmu. Dari mana luka-lukamu itu? Tentu saja karena penggemar Karma yang terlalu posesif itu. Dan kini bisa kau tebak, mungkin nanti ketika tiba di sekolah uwagutsumu bakal dipenuhi oleh paku payung atau rusak habis digunting-gunting. Dan setelah kau tiba di kelas, mejamu bakal penuh coretan serta makian buruk tentangmu, ketika kau ke toilet para anak cewek akan mengguyurmu dengan air bekas pel. Dan ketika kau kembali ke kelas setelah istirahat siang, tas serta bukumu sudah robek tak karuan. Dan yang terakhir, setelah pulang sekolah nanti, sepatumu juga akan menghilang. Kalau tak disembunyikan, di lempar ke kolam atau lebih buruk lagi dibakar di tempat sampah. Kau benar-benar tak bisa berhenti berpikir negative saat ini. Sadar-sadar kau terus membayangkan bully yang bahkan belum siap kau terima.
Akhirnya kau sampai juga di sekolah. Kau meneguk ludah sekali lalu pergi menghampiri loker sepatu. Dengan jantung yang berdebar-debar dan kucuran keringat, kau membuka lokermu dengan sigap.
Di kala itu jantungmu kembali berdetak tenang.
Ternyata uwagutsumu masih dalam keadaan normal, tapi di dalam sana ada sepucuk kertas.
Mungkin kau akan ditantang di halaman belakang sekolah lagi?
Itu jauh lebih buruk!
.
.
Is This My fault
.
.
"Maafkan kami, (name)!" kau terbengong dan tak bisa mengerjap apa-apa. Sungguh di luar dugaan, pembully yang kemarin memukulimu kini berlutut meminta maaf padamu. Sambil menangis pula. "Kami salah! Kami tak akan melakukan hal kejam lagi padamu!" seru salah satunya dengan cucuran air mata.
"Tunggu! Kenapa tiba-tiba-lagi-lagi kau merasakan aura mencekam ini. Bulu kudukmu dengan sigap berdiri seluruhnya begitu merasakan aura intimidasi entah dari mana. Kau menoleh ke sembarang arah mencari asal dari aura aneh ini. Tak ada siapa pun di perkarangan sekolah kecuali dirimu dan orang-orang yang kini tengah bertekuk lutut padamu. Dan mimik wajah mereka menggambarkan kalau mereka sepertinya juga merasakan aura intimidasi ini. Kau tau itu setelah melihat wajah mereka yang semakin merinding dari yang tadi. Kau mulai merasa ada yang aneh di sini. Lagi-lagi kecurigaanmu tertuju pada Karma. Hanya dia yang bisa melakukan ini, memang. "Apa kalian melakukan ini karena Karma?" tanyamu tanpa basa-basi. Dan salah satu dari para cewek itu langsung menggeleng.
"Ini atas kemauan kami sendiri! Tolong maafkan kami!" kini mimik wajahmu yang berubah jadi heran. Setengah ragu dan tidak. Mereka tampak sangat jujur saat mengatakan atas kemauan mereka sendiri.
Kau menggaruk tengkuk lehermu yang bahkan tak terasa gatal sama sekali, "Em... baiklah. Tak apa. Ini bukan masalah besar. Kalian tak perlu sampai segitunya." Dengan lapang dada kau menerima permintaan maaf mereka dan menyuruh kumpulan mantan pembully itu untuk berdiri. Senyuman lega terpampang di wajah sembab mereka dan setelahnya para gadis itu pergi meninggalkanmu setelah memberikan salam pamit dengan sopan.
Kau mengernyit curiga. Ya, kau belum lepas dari rasa curiga yang ditunjukkan untuk Karma. Tak mungkin para pembully tadi meminta maaf tanpa sebab yang pasti-setelah semalam mereka menyakitimu sekejam itu. Di saat itu pun kau merasakan aura itu lagi. Aura intimidasi yang sangat kau kenal. Kepalamu dengan sigap menoleh ke satu arah. Jendela yang berada di lantai dua. Bingo. Tepat seperti dugaanmu. Itu Akabane Karma. Yang tengah menatapmu dengan pancaran mata yang tajam dan penuh makna. Warna maniknya yang kekuningan itu seakan menusuk sampai ke tulang rusukmu. Kau ingin lari, tapi tak bisa, karena kau masih punya banyak urusan dengan lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
OverProtective
FanfictionBukankah melindungi hal yang berharga itu sangatlah penting? Warning : Karma Akabane x Readers Saya hanya pinjam karakter... Alur, profesi, dll tidak mengikuti canonnya, maaf 😭