Arion mengamati setiap sudut kedai kopi tempat ia berada sekarang. Nuansa klasik yang ditebarkan membuat Arion seperti merasa kembali ke masa kanak-kanaknya. Properti kafe tersebut didominasi warna coklat, dengan furniture yang kebanyakan terbuat dari kayu. Di beberapa sisi ruangan terdapat rak yang memuat barang-barang antik. Lampu yang menyala remang-remang juga menambah kesan magis pada kedai tersebut, dan tak urung membuat Arion bergidik ngeri.
Arion berjalan mendekati seorang pria paruh baya yang merupakan pemilik kedai tersebut. Pria yang tampaknya berusia lebih dari lima puluhan itu terlihat sedang membersihkan rak-rak yang terdapat di belakang kasir.
"Sepi sekali," komentar Arion membuat pria tua itu langsung menoleh. "Saya Arion, Pak." Dia mengulurkan tangannya yang disambut oleh pria tua itu.
"Rizaldi." Pria tua bernama Rizaldi itu tersenyum. Wajahnya yang menua membuat senyum itu terlihat meneduhkan. "Yah, kedai ini baru dibuka seminggu yang lalu dan belum ramai oleh pelanggan."
Tak lama kemudian Rein muncul setelah berganti pakaian di toilet. Untung saja Arion selalu membawa beberapa pakaian ganti untuk digunakannya jika ia harus menginap di kantor atau jika ada keperluan mendadak seperti sekarang ini. Kaus lengan panjang serta training hitam yang dipakai gadis itu membuat tubuh mungilnya seolah tenggelam.
"Sudah selesai?" tanya Arion ketika Rein telah berada di sampingnya.
Rein mengangguk pelan. Wajahnya sudah terlihat lebih segar sekarang. Setidaknya bekas airmata tadi sudah tidak terlihat walaupun wajah gadis itu masih murung. Matanya mengamati sekitar lalu tertuju pada sebuah bingkai foto yang diletakkan di salah satu rak.
"Oh, cantiknya. Ini siapa, Pak?" seru Rein senang. Tangannya menunjuk bingkai foto yang di sana terpampang gambar Rizaldi bersama seorang wanita.
Rizaldi menatap bingkai foto tersebut dan tersenyum. Senyum yang di mata Arion terlihat menyedihkan. Pria paruh baya itu mengambil bingkai foto itu dan menatapnya lama.
"Ini foto saya dan istri saya yang sangat saya cintai," jawab Rizaldi lirih. "Sayangnya, dia sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu karena kecelakaan."
Rein dan Arion ikut merasakan perasaan sedih yang dirasakan Rizaldi. Kehilangan seseorang yang kita cintai memang sangat menyakitkan. Mereka bertiga terdiam cukup lama hingga suara Rizaldi kembali memecah keheningan.
"Maaf membuat kalian harus melihat saya seperti ini." Rizaldi tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. Ia menaruh kembali bingkai foto itu, menatapnya sebentar, lalu kembali menatap Arion dan Rein. "Oh iya, Nak Rein dan Arion ini pacaran toh?"
Rein dan Arion saling melirik. Tidak ada yang berniat menjawab hingga Arion memilih untuk mengalah dengan menjawab, "Dia istri saya, Pak."
Senyum Rizaldi melebar. "Sudah saya duga. Terlihat sekali, kalian pasangan yang sangat serasi." Pria itu mengambil sesuatu dari bawah rak yang ternyata kamera polaroid. "Apa boleh saya mengambil foto kalian? Sebagai hadiah karena kalian pengunjung pertama kedai kopi saya ini."
Rein mengangguk antusias. Tapi seketika wajahnya berubah lesu ketika melihat reaksi pria di sampingnya yang seperti enggan mengiyakan permintaan Rizaldi. Bibirnya merengut seketika. Dia kira Arion sudah tidak marah lagi. Mungkin lebih tepatnya, Arion sedang menyimpan amarahnya dan akan kembali dilampiaskan ketika mereka sudah sampai di rumah.
Tiba-tiba saja Rein merasakan rangkulan di pundaknya. Rein sontak menoleh dan menyadari lengan Arion lah yang melingkari pundaknya. Sudut bibir Rein berkedut ingin tersenyum lebar. Tapi ditahannya. Dia memalingkan wajah ke arah kamera. Tanpa bisa dicegah perlahan pipinya merona. Dan... klik! Foto telah diambil.
Rizaldi menurunkan kameranya dan menunggu kertas foto keluar dari dalamnya. Rein berdecak kagum ketika melihat hasil fotonya yang perlahan keluar. Ia menerima foto tersebut dari tangan Rizaldi dan menatapnya lekat-lekat. Ia tidak peduli bahwa di foto itu pipinya terlihat merona. Yang ia pedulikan, di foto tersebut Arion merangkulnya dan pria itu tersenyum. Tersenyum tipis sekali. Tapi bagi Rein yang sudah lama tidak melihat senyum pria itu, itu semua sudah cukup.
Pelan-pelan saja, batinnya. Dia yakin semuanya akan kembali seperti dulu.
...................
"Jadi berapa, Pak?" tanya Arion di depan meja kasir sambil mengeluarkan dompetnya.
"Dalam waktu dekat," ujar Rizaldi tiba-tiba membuat Arion mengangkat kepalanya. Rizaldi tersenyum. "Kamu akan kehilangan sesuatu milikmu yang paling berharga."
"Maksud Bapak?" Arion terlihat kebingungan.
Rizaldi mengalihkan pandangannya pada Rein yang balas menatapnya dengan tatapan polos. "Tidak peduli seberapa jauh kamu berlari dan melangkah, takdir akan mengikutimu. Tidak ada gunanya melarikan diri." Pria itu melanjutkan, "Salah satu dari dua harus menghilang agar hal itu berakhir. Maka dari itu, kamu harus memilih."
"Apa yang sedang Bapak bicarakan?" tanya Arion gusar.
"Jadi daripada melarikan diri dari takdir, berjuanglah, sebelum kamu terlambat." Rizaldi kembali tersenyum di akhir kalimatnya.
Arion semakin gusar. Dengan kasar diletakkannya beberapa lembar uang berwarna merah di atas meja kasir. "Saya tidak mengerti apa yang Bapak bicarakan. Terima kasih sudah menolong kami." Ia langsung menarik tangan Rein dan mengajaknya masuk ke dalam mobil. Dia baru saja hendak ikut masuk ketika Rizaldi kembali memanggilnya. Dengan enggan ia berbalik.
Rizaldi lagi-lagi tersenyum. "Berhati-hatilah dengan air."
Arion melengos. Tanpa menghiraukan ucapan pria itu, dia masuk dalam mobil dan melajukan kendaraan roda empatnya itu meninggalkan Rizaldi yang masih berdiri di depan kedainya sambil menatap kepergiannya dengan tatapan sendu.
o000o
KAMU SEDANG MEMBACA
14 Days
عاطفيةBagi Rein, Arion terlalu sulit untuk digapai. Hingga sekuat apapun Rein berlari untuk menggapainya, Rein tidak akan bisa meraih pria itu. Karena ketika Rein berlari, maka saat itu pula Arion akan berlari. /// Rein dan Arion saling mengenal sejak kec...