D E L A P A N B E L A S

126 12 1
                                    


Pencarian Rein masih tidak membuahkan hasil. Arion turut dalam pencarian, tapi hanya sehari karena keesokan harinya dia tumbang. Kondisi tubuhnya yang drop karena tidak tidur ditambah tidak makan selama berhari-hari membuatnya tidak mempunyai cukup tenaga.

Arion kini terbaring lemah di tempat tidurnya—lebih tepatnya di kamar Rein. Belakangan ini orangtuanya dan Rein mengetahui bahwa mereka tidur terpisah membuat Arion kembali menerima kemarahan. Dan pria itu hanya bisa pasrah menerimanya.

Tidak ada kelanjutan telepon dari penculik itu. Semakin hari pencarian terhadap Rein hanya menemukan jalan buntu. Tidak ada telepon yang memberitahu mereka keberadaan Rein. Jikapun Rein sudah dibunuh, seharusnya mereka sekarang sudah menemukan jasad gadis itu. Hal itu sempat diutarakan Alex dan berhasil membuat Arion berang.

Pintu kamarnya terbuka memperlihatkan tubuh tegap Alex. Pria itu melangkah masuk setelah menutup pintu di belakangnya. "Gimana keadaan lo?"

Arion tersenyum tipis. "Seenggaknya gue nggak bakal pingsan lagi."

Alex terkekeh dan menarik kursi belajar milik Rein. "Kalau lo udah sehat lo bisa lanjut ikut cari Rein lagi."

Arion menatap langit-langit kamar. Dihelanya napas panjang. "Gimana? Ada perkembangan?"

Alex tersenyum miris lalu menggeleng pelan. "Nggak ada jejak apapun. Gue bahkan turun langsung ke jalan tempat Rein turun dari taksi dan menyusuri jalan di sana. Nggak ada CCTV, membuat kita kesusahan."

Arion menarik napas mencoba meredakan sesak di dadanya. "Jadi, nggak ada telepon dari penculik yang minta tebusan. Nggak ada kamera CCTV."

Alex menepuk kaki Arion. "Lo tenang aja. Kita pasti bisa nemuin Rein." Dia tersenyum menenangkan walau batinnya sendiri merasa gelisah.

............................

Arion memandang ponselnya yang berbunyi menampakkan nama kekasihnya di layar. Sudah sejak kemarin kekasihnya menghubunginya, tapi Arion terlalu malas dan enggan untuk menjawabnya. Benaknya masih dipenuhi oleh Rein. Setelah lama bergulat dengan pikirannya, dia akhirnya memutuskan untuk menjawab panggilan dari kekasihnya.

"Are? Kok aku hubungin dari kemarin nggak diangkat-angkat sih?" Terdengar gerutuan dari seberang. Suaranya yang baru Arion sadari sangat dia rindukan dan tanpa sadar membuat perasaannya sedikit lega.

"Maaf," ucap Arion tulus. "Kamu tahu kan, aku sibuk ikut nyari Rein."

Kekasihnya itu mendengus. "Aku nggak peduli. Harusnya kamu kabarin aku. Aku kan kangen banget sama kamu."

Arion hanya tersenyum maklum. Dia sudah bilang kan kalau kekasihnya itu tidak menyukai Rein? "Iya, tapi kan nggak enak sama yang lain. Masa aku nyantai aja nggak ikut nyari?" Dia mencoba untuk memberi pengertian.

Gadisnya itu mulai merengek. "Tuh kan! Kamu nggak cinta sama aku. Kamu pasti udah mulai suka sama Rein. Kalau kayak gini mending si Rein mati aja deh dibunuh sama penculik itu!" Racauan gadis itu mulai kelewatan.

"SAL!" seru Arion marah. "Kamu apa-apaan sih?" Dia menjaga nada suaranya agar tidak meledak dan terdengar sampai keluar.

Terdengar suara isakan. Semakin lama semakin keras membuat Arion perlahan menghela napas lelah. Selama ini jika dia bertengkar dengan kekasihnya itu, dia selalu menjaga suaranya agar tidak berteriak. Tapi entah kenapa mendengar gadisnya mendoakan agar Rein mati membuat dirinya gusar.

"Maafin aku, oke?" bisik Arion.

"Kamu udah mulai cinta kan sama Rein?" todong kekasihnya langsung.

Arion memijat pelipisnya pelan. "Kenapa ngomong gitu? Aku cuma cinta sama kamu kok," ucapnya lembut.

"Terus kapan kamu pisah sama Rein?" Pertanyaan gadis itu sukses membuat Arion terpaku.

Arion menelan ludahnya. "Ke-kenapa memangnya?"

Terdengar suara dengusan. "Kita nggak bisa kayak gini terus kan? Main sembunyi-sembunyi?"

Bola mata Arion bergerak-gerak gelisah. Dia harus menjawab apa? Apa dia harus berkata pada gadis itu kalau dia tidak ingin melepaskan keduanya? Akhirnya dia memilih menjawab, "Na-nanti setelah Rein ketemu, akan aku pikirin."

Jawaban yang salah, Arion.

.............................

Pria pemancing itu berseru senang ketika merasakan kailnya dimakan ikan. Dengan semangat dia menarik pancingnya. Seulas senyum lebar tergambar di wajahnya, membayangkan ikan yang berhasil ditangkapnya. Tapi kemudian senyumnya memudar ketika melihat bukan ikan yang tersangkut di kailnya, melainkan sebuah high heels berwarna merah.

Pria itu mendesah kesal. Dia sudah berada di atas perahunya, mencoba menarik ikan dengan pancingannya sejak tengah malam hingga menjelang pagi, tetapi tidak ada satu ikan pun yang berhasil ditangkapnya. Dengan marah dia melempar alat pancingnya. Dia sudah sangat lelah. Mungkin sebaiknya dia pulang dan beristirahat kemudian kembali lagi pada malam hari. Akhirnya dengan enggan dia membereskan peralatannya.

Gerakannya terhenti ketika matanya tertumbuk pada sesuatu yang tiba-tiba menyembul dari dalam air. Pria itu sontak membelalak. Dia mengusap matanya berulang kali untuk memastikan penglihatannya dan sedetik kemudian dia memekik kaget.

---

"Dalam waktu dekat, kamu akan kehilangan sesuatu milikmu yang paling berharga."

"Salah satu dari dua harus menghilang agar hal itu berakhir. Maka dari itu, kamu harus memilih."

---

"Rein Adrianne, istri dari Arion Mandala, salah satu pengusaha di negeri ini, yang diculik seminggu yang lalu ditemukan tenggelam di sebuah danau dalam keadaan sudah tidak bernyawa. ...."

Garis polisi terpasang di sepanjang pinggiran danau. Tempat itu ramai oleh wartawan media, detektif dan polisi lokal serta keluarga Rein. Bunyi sirine mobil polisi bersahut-sahutan. Suara bisik-bisik perbincangan para warga tidak kalah terdengar.

Alex membuka penutup kain yang menutupi tubuh adiknya, adik perempuan kesayangannya. Airmatanya mengalir ketika melihat wajah pucat kebiruan Rein. Tubuh kaku adiknya menunjukkan bahwa gadis itu benar-benar sudah tiada. Dia mendekap erat kepala adiknya dan mulai menangis.

Tidak jauh dari sana, Arion menyaksikan Alex menangis sambil mendekap adiknya. Tubuhnya gemetar hingga terasa sangat menyakitkan. Lututnya melemas dan dia jatuh terduduk. Kedua tangannya terkepal erat di atas tanah dan dia mulai ikut menangis. Rasa bersalah itu semakin menjadi.

Seseorang memeluknya dari belakang. Dia mengenal pelukan ini. Nadya memeluk adiknya yang terlihat rapuh. Tangisan Arion semakin keras. Rein-nya telah pergi. Rein-nya yang selalu bersamanya kini tidak ada lagi.

Arion menyandarkan tubuhnya pada Nadya. "Mbak, aku mesti gimana setelah ini?" Nadya yang mendengarnya ikut menangis. Walau bagaimanapun, Rein adalah adik ipar kesayangannya. Pelukan Arion mengerat. "Mbak, ini semua salah Are."

o000o


14 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang