S E M B I L A N

104 11 0
                                    

Arion sarapan sendirian pagi itu. Hingga dia menyelesaikan sarapannya, Rein tidak juga muncul padahal gadis itu ada kuliah pagi. Dia melirik jam tangan pemberian Rein yang melingkari pergelangan tangan kirinya dan melihat jam sudah menujukkan pukul setengah delapan. Sedangkan kelas gadis itu akan dimulai pukul delapan.

"Bi, bangunin Rein. Dia udah telat banget ini," suruhnya pada Bi Wiwit yang sedang membereskan bekas sarapannya.

"Nak Rein udah bangun kok, Mas. Paling juga lagi siap-siap." Bi Wiwit tersenyum. Pandangannya kemudian tertuju pada Rein yang sedang menuruni tangga. "Nah, itu Nak Rein. Bibi balik ke dapur dulu ya, Mas." Bi Wiwit membawa piring kotor di tangannya ke dapur.

Arion terus menatap Rein yang menuruni tangga sambil menundukkan kepalanya. Rambut ikal panjangnya tergerai hingga menutup wajahnya membuat Arion tidak bisa melihat bagaimana ekspresi gadis itu. Rein sampai di anak tangga terakhir, tak menyadari bahwa sedari tadi tatapan Arion ditujukan padanya. Tapi kemudian Rein tidak berbelok menuju ruang makan, melainkan berjalan melewati ruang tamu.

Cepat-cepat Arion menghabiskan kopinya lalu memakai jasnya yang tersampir di kursinya. Langkahnya berderap melangkah menyusul Rein yang tidak menyadari keberadaannya.

"Rein!" panggilnya.

Rein berhenti melangkah. Perlahan kepalanya menoleh, memperlihatkan wajah bengkaknya yang seketika membuat Arion meringis bersalah dalam hati. Sepertinya gadis itu menangis semalaman tanpa berhenti hingga membuat wajahnya menjadi seperti itu. Belum lagi wajahnya yang terlihat pucat.

Arion maju mendekati Rein yang sontak langsung melangkah menjauh. Pria itu sempat tertegun tapi secepat mungkin dia mengendalikan ekspresinya.

"Ayo, Mas antar kamu ke kampus," ajaknya tidak seperti biasanya.

Rein menggeleng pelan tanpa ekspresi di wajahnya. "Nggak usah. Rein berangkat sama Pak Tomo aja." Tanpa berpaling, dia langsung meninggalkan Arion yang terpaku.

Arion mengerjapkan matanya beberapa kali. Tadi itu, untuk pertama kalinya Rein menolak ajakannya. Biasanya gadis itu akan mengiyakan setiap ajakannya dengan antusias tanpa penolakan. Dan penolakan Rein tadi sedikit—ingat, hanya sedikit!—membuat dadanya terasa sesak.

Dirinya menghela napas panjang. Matanya lalu tanpa sengaja tertuju pada sebuah benda yang tergeletak di atas meja ruang tamu. Ia memajukan tubuhnya dan kembali tertegun ketika mendapati sebuah ponsel dengan layar pecah di sana. Ponsel Rein.

..........................

Arion membanting map yang berisikan proposal proyek ke mejanya dengan kesal. Dia kesal karena tidak bisa berkonsentrasi dari tadi pagi. Kejadian kemarin masih berdampak pada emosinya, belum lagi dengan penolakan tidak biasa yang dia dapat dari Rein.

Terdengar suara ketukan pada pintu ruangannya. Dengan malas Arion berteriak menyuruh orang itu masuk. Seorang pria muncul dari balik pintu. Tanpa menoleh pun Arion sudah tahu siapa pria itu. Terra Bagaskara, sekretarisnya.

"Ini, Pak, ponsel yang Bapak pesan tadi," ujar Terra. Diletakkannya paperbag putih yang ada di tangannya ke atas meja atasannya itu.

Arion menggangguk tanpa menatap pria itu. Tangannya lalu membuat gerakan mengusir agar Terra segera keluar dari ruangannya. Tapi hingga semenit kemudian, tidak terdengar suara pintu terbuka membuat Arion mau tak mau mengangkat wajahnya dan menatap Terra yang masih berdiri terpaku di hadapannya. Well, sepertinya pria itu ingin menyampaikan sesuatu.

"Apa lagi?" tanyanya dengan nada lelah. Ia mendesah frustasi.

Bola mata Terra bergerak gelisah. Dia menelan ludah lalu dengan hati-hati mulai berbicara. "Sebelumnya maaf, Pak, saya baru menyampaikan hal ini. Tadi pagi, pihak JJ Construction menghubungi kita terkait masalah kontrak proyek kita yang ada di Balikpapan. Mereka bilang, mereka nggak terima Bapak membatalkan kontrak dengan mereka tanpa konfirmasi—"

"Terra, kamu tahu?" potong Arion tiba-tiba menghentikan kalimat Terra. Pria itu kembali menelan ludahnya. Wajahnya memucat. "Setelah kamu keluar dari ruangan ini, kamu hubungi mereka dan katakan—"

Arion menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Perusahaan kita tidak sudi bekerja sama dengan perusahaan yang hanya ingin terima beres. Proyek ini dari kita, dan mereka yang seharusnya menjalankannya. Tapi apa? Mereka seenaknya menyuruh pegawai-pegawai kita. Dan lagipula," Arion tersenyum sinis, "kita sudah memberikan biaya ganti rugi atas pembatalan kontrak itu sesuai dengan perjanjian. Jadi, sekarang kamu keluar dan sampaikan perkataan saya tadi pada mereka."

Terra cepat-cepat mengangguk dan segera keluar dari ruangan atasannya itu. Raut wajah lelah Arion sudah cukup membuktikan kalau pria itu sedang marah dan tidak ingin diganggu oleh siapapun.

Arion menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi. Dengan kasar dia mengusap wajahnya berulang kali lalu mengacak rambutnya frustasi. Bertambah lagi alasan dirinya tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya. Dia memijit pelan pelipisnya. Pusing mendadak menyerang kepalanya.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi nyaring. Membuat kepalanya semakin ingin pecah. Dengan gusar ia mengambil ponselnya dan melihat nama Profesor Herman, dosen pembimbing Rein muncul di layar. Kembali dirinya menghela napas panjang. Masalah lagi. Ia sudah bisa menebak apa maksud dari kakak kelas semasa SMA-nya itu menghubunginya. Apa lagi kalau bukan untuk membahas mahasiswi bimbingannya, Rein Adrianne?

o000o

14 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang