S E B E L A S

91 12 0
                                    

Pagi itu Arion mengantar Rein ke kampusnya. Dan sepertinya perasaan gadis itu sudah mulai membaik karena dia tidak menolak ajakan Arion untuk berangkat bersama. Baguslah. Karena perasaan bersalah yang kemarin menyerangnya membuatnya tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya.

Arion menghentikan mobilnya dan melihat mobil-mobil di depannya berjejer. "Aduh, kenapa pakai macet segala sih?" gerutunya.

Rein yang duduk di sampingnya tidak mempedulikan gerutuan Arion. Dia masih belum bisa melupakan kejadian kemarin sehingga dia hanya bisa diam dan menurut saja. Takut Arion kembali meledakkan amarahnya. Suasana canggung di antara mereka membuatnya bosan dan memilih untuk memutar lagu. Sekejap kemudian musik dari lagu Rizky Fabian memenuhi mobil tersebut.

Arion menolehkan wajahnya dan menatap Rein kesal. "Rein, matiin lagunya," perintahnya seperti biasa tidak ingin dibantah. Kepalanya terlalu pusing untuk sekedar mendengar musik di saat dia dalam keadaan terburu-buru seperti sekarang ini, ditambah gadis itu juga ikut menyanyi.

Tapi bukannya menuruti perintah Arion, Rein malah membesarkan volume suara musik tersebut hingga yang paling keras. Dia bahkan ikut bernyanyi dengan suara keras membuat Arion semakin kesal.

"Rein, kamu...," Arion tidak melanjutkan kalimatnya ketika Rein menatapnya dengan tatapan polos. Dengan perasaan jengkel setengah mati dia mematikan lagu tersebut membuat Rein memberengut sebal.

"Karena kasus pembunuhan semalam tidak memiliki saksi untuk memberikan kesaksian," suara radio yang menyala otomatis menghentikan gerakan Arion yang sedang memasukkan kaset tersebut ke tempatnya, "polisi mengalami kekosongan dalam penyelidikan mereka."

Arion terpaku. Entah kenapa dirinya tidak tergerak untuk mematikan radio. Dia malah memasang telinganya baik-baik demi mendengarkan secuil informasi.

"Pembunuhan ini telah terjadi selama tiga hari berturut-turut dan menyebabkan kekhawatiran di kalangan masyarakat."

Tangan Arion bergerak mematikan radio. Dahinya mengernyit. Tiga hari berturut-turut? Apa pembunuh itu mengalami gangguan jiwa? Arion masih merenung sampai tiba-tiba terdengar suara tabrakan disusul dengan guncangan yang cukup keras pada mobilnya. Dia tersentak begitu juga dengan Rein.

Arion menatap Rein cemas. "Kamu nggak papa?" Rein mengangguk. Arion buru-buru melepas sabuk pengamannya dan keluar dari mobil untuk menengok apa yang terjadi pada mobilnya. "Jangan ke mana-mana. Stay here," pesannya pada Rein.

Sepeninggal Arion, tatapan Rein beralih pada kerumunan yang berjarak kurang lebih tujuh mobil dari tempatnya dengan rasa penasaran tinggi. Apa telah terjadi kecelakaan? Pemikirannya itu malah membuatnya ingin melihat dari dekat.

Sementara itu, Arion menatap miris bemper belakang mobilnya yang penyok. Dia menghela napas panjang. Sebenarnya bukan masalah besar, tapi tetap saja mobilnya menjadi tidak enak dilihat. Apalagi setelah ini dia harus segera berangkat ke kantor.

"Sepertinya ada kecelakaan," ujar seseorang membuat Arion menatap kerumunan di sana.

"Mungkin," gumamnya. Matanya menyipit untuk sesaat lalu membulat ketika melihat sosok yang berlari mendekati kerumunan tersebut. "Rein," desisnya kesal. Dengan cepat dia menyusul gadis itu.

Rein menerobos masuk kerumunan tersebut dan berhenti tepat di hadapan sebuah tubuh yang sudah ditutupi kain putih. Ia menundukkan kepalanya dan melihat sebuah gelang di ujung sepatunya. Ia membungkukkan tubuhnya dan mengambil gelang berwarna hijau tua tersebut.

"Cantiknya," ujar Rein senang bersamaan dengan tibanya Arion di sampingnya dengan napas tersengal-sengal. Ia menatap pria itu. "Mas, ini apa?" Ia menunjuk bandul gelang tersebut.

Arion menunduk menatap Rein. Dengan kasar ia menghempaskan gelang tersebut hingga talinya terputus dan batu-batu gelang tersebut berhamburan di aspal. Ia merangkul Rein lalu membawa gadis itu keluar dari kerumunan.

o000o

14 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang