"Alex?" panggil Arion membuat pria yang kini duduk di sofa di ruangannya itu menoleh dan menunjukkan senyum lebarnya. "Ngapain lo di sini?" Dia menghampiri Alex dan duduk di hadapan pria itu.
Alex mengangkat bahunya. Jarinya menunjuk laptop di meja. "Gue mau numpang kerja. Di tempat gue suasananya lagi kacau dan gue nggak bisa konsentrasi."
Arion menaikkan sebelah alisnya. "Dan apartemen lo?"
"Sepi, Are. Gue lagi berasa horor banget beberapa hari ini. Apalagi dengan kasus pembunuhan tiga hari berturut-turut ini," Alex bergidik. Dia cepat-cepat melanjutkan ketika melihat Arion hendak kembali membuka mulut, "Dan di rumah lo ada Rein. Gue nggak mau digangguin sama dia. Lo tau sendiri kan gimana dia kalua udah menyangkut yang beginian."
Arion terbahak. "Well, kali ini gue setuju sama lo." Dia kemudian bangkit dan menuju mejanya. "Ter, tolong beli dua espresso di café sebelah," ujarnya di telepon.
"Sebenarnya lo nggak perlu repot-repot, Are. But, thank you," seru Alex yang disambut dengan dengusan Arion.
Arion kembali duduk di seberang Alex. "Jadi, kayaknya gue ketularan Rein. Jujur saja, gue baru tau kalau pembunuhan itu udah terjadi tiga hari berturut-turut dari radio tadi pagi. Man, seriously? Tuh orang sakit jiwa kali ya?"
Alex mengembuskan napas lelah. Dia menyandarkan punggungnya. "Kami udah ngecek CCTV, tapi nggak ada titik terang. Pelaku kayaknya udah ngerencanain ini semua dengan matang dan dia cukup pintar dengan menghindari wajahnya terlihat di kamera."
Kening Arion berkerut. "Korbannya cewek semua?"
Alex mengangguk. "Tapi, gue menemukan satu keanehan, Are."
Arion menatap Alex penasaran. "Keanehan? Apa?"
Alex berdeham. "Sebenarnya gue masih merasa ragu. Entah ini kebetulan atau emang disengaja. Tapi," dia memajukan tubuhnya dan berbisik, "ketiga korban memakai dres dengan warna yang sama. Warna merah."
..............................
Dua hari kemudian...
Rein langsung berdiri ketika sebuah mobil yang amat dikenalinya berhenti di depannya. Kaca mobil diturunkan dan memperlihatkan Arion yang duduk dibalik kemudi. Pria itu tanpa menoleh menggedikkan dagunya menyuruh Rein masuk yang mau tak mau dituruti gadis itu.
"Hari ini Mas diundang buat datang ke pesta pernikahan manajer perusahaan Mas. Kamu mesti temenin Mas," ujar Arion langsung begitu Rein telah duduk di sampingnya. Dia melirik jam tangan pemberian Rein. "Udah jam tiga. Pestanya dimulai jam enam. Kamu Mas antar ke butik, nanti jam lima Mas jemput. Gimana?" Dia menatap Rein.
Rein hanya bisa mengangguk. Tidak ada gunanya membantah. Lagipula dia sedang tidak punya tenaga untuk berdebat dengan pria itu sehingga dia memilih diam sepanjang perjalanan hingga Arion menghentikan mobilnya di depan sebuah butik yang cukup terkenal.
"Ingat, Mas jemput jam lima, oke?"
Lagi-lagi Rein mengangguk dan tak lama kemudian Arion melajukan mobilnya meninggalkan Rein yang masih berdiri terpaku di pinggir jalan. Gadis itu menghela napas panjang sebelum memasuki bangunan di belakangnya.
..............................
Rein menatap deretan gaun di hadapannya dengan tatapan bingung. Dia tidak tahu harus memilih gaun yang mana. Semua gaun di hadapannya terlihat bagus. Tapi sayangnya gaun-gaun itu bukan seleranya. Dia tidak terbiasa memakai gaun seperti itu. Dihelanya napas panjang. Mungkin dia sebaiknya meminta bantuan pada pegawai butik ini untuk memilihkannya gaun yang bagus sehingga dia tidak perlu kebingungan seperti ini.
"Perlu bantuan?"
Suara yang terdengar dari balik punggungnya membuatnya berbalik dan melihat seorang gadis berdiri tidak jauh darinya. Rein mengerjap berulang kali. Dia terpana melihat gadis itu. Cantik, pikirnya. Tanpa sadar dia membandingkan dirinya dengan gadis itu. Dan hal itu membuat kepercayaan dirinya menurun drastis.
"Kamu kayaknya lagi bingung mau milih gaun yang mana," ujar gadis itu sambil melangkah mendekat.
Rein menelan ludah. Suara gadis itu bahkan terdengar merdu di telinganya. Pikirnya, pasti banyak pria yang tergila-gila padanya. "Ya, aku bingung. Semua gaun di sini terlihat bagus."
Gadis itu tersenyum lebar. "Mau kubantu memilih?"
Rein menatap gadis itu lama. Dirinya mulai menimbang. Lama dia berpikir lalu menganggukkan kepalanya. Dan itu membuat senyuman gadis itu semakin melebar membuat Rein hampir yakin mulut gadis itu akan robek jika terus tersenyum seperti itu.
Gadis itu maju mendekati gaun-gaun yang tergantung maupun yang dipajang di manekin. Matanya memindai mana gaun yang bagus sementara tangannya bolak-balik memegang gaun-gaun tersebut. Tak butuh waktu lama bagi gadis itu untuk memilih. Gadis itu mengulurkan sebuah gaun berwarna merah yang panjangnya hingga semata kaki.
"Yang ini, bagaimana?"
Rein mengamati gaun di hadapannya. Gaun tersebut terlihat mewah. Membuat Rein berpikir untuk menolak pilihan gadis itu dan memilih gaun yang lain. Tapi ini pesta pernikahan, dan dia tidak ingin mempermalukan Arion dengan memakai gaun yang sederhana. Dia mengangkat wajahnya dan balas menatap gadis di depannya.
"Aku pilih gaun ini. Terima kasih atas bantuannya." Rein tersenyum tulus.
Gadis itu tersenyum. Kali ini senyumnya tidak selebar tadi. Hanya senyum tipis yang tidak sampai ke matanya dan membuat Rein ragu apakah gadis itu barusan benar-benar tersenyum atau tidak. "Nggak masalah. Aku senang membantumu. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih." Dia mengibaskan sebelah tangannya. "Kalau begitu aku permisi masuk ke dalam dulu." Gadis itu berlalu meninggalkan Rein yang termangu sendirian.
Dahi Rein mengernyit. Masih memikirkan maksud perkataan gadis itu tadi. Ucapan terima kasih? Apa maksud gadis itu?
o000o
![](https://img.wattpad.com/cover/71218641-288-k946318.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
14 Days
RomanceBagi Rein, Arion terlalu sulit untuk digapai. Hingga sekuat apapun Rein berlari untuk menggapainya, Rein tidak akan bisa meraih pria itu. Karena ketika Rein berlari, maka saat itu pula Arion akan berlari. /// Rein dan Arion saling mengenal sejak kec...