E M P A T B E L A S

107 12 1
                                    


Rein berjalan gontai menuju ballroom hotel tempat pesta tadi diadakan. Matanya menerawang sendu. Langkahnya pelan dan goyah, seakan-akan gadis itu dapat jatuh kapan saja. Ia mengembuskan napasnya berat. Mencoba meredakan sesak yang dia rasakan.

Mengingat kejadian yang dilihatnya tadi membuatnya tertawa miris. Hatinya terasa sakit. Dia tidak tahu. Rein tidak mengerti sama sekali. Bahkan setelah melihatnya tadi pun Rein sama sekali tidak tahu apa yang mesti dilakukannya.

Rein tidak menyalahkannya. Ini semua memang salahnya. Andai sewaktu perjodohan itu baru direncanakan Rein angkat bicara untuk menolak. Semuanya tidak akan seperti ini. Tidak akan ada kejadian yang menghancurkan hatinya seperti ini. Setidaknya perasaan Rein tidak akan berkembang semakin besar.

Rein melihat Sena yang masih berdiri di tempatnya. Pria itu memegang piring berisi beberapa makanan. Mulutnya tidak berhenti mengunyah. Rein tersenyum melihat sepupu suaminya itu. Dilangkahkan kakinya mendekati Sena.

"Bang Sen," panggilnya.

Sena menoleh dan melambaikan tangannya. Dia meminum minumannya yang dia letakkan di meja di dekatnya. "Lama banget sih. Abang berasa ngenes banget di sini sendirian," sungutnya.

Kalau dalam kondisi normal, Rein tentu saja akan tertawa mendengar sungutan Sena. Tapi hati Rein sedang terluka. Untuk tersenyum pun dia susah. Jadi dia hanya tersenyum sekilas lalu menunduk sementara Sena kembali menikmati makanannya.

"Bang," panggilnya lagi. Rein mengangkat wajahnya dan manik matanya langsung bertemu dengan milik Sena. Mendadak Rein ingin menangis. "Rein mau pulang," bisiknya. Suaranya bergetar.

Sena mengepalkan keduatangannya. Mencoba menahan dirinya untuk tidak berbuat yang tidak-tidak. Yang bisa dia lakukan hanya menghela napas panjang lalu menggenggam jemari gadis itu. Dia menunggu gadis itu mengeluarkan suaranya lagi tapi Rein hanya diam.

"Abang nggak bisa antar kamu pulang, Rein," ujar Sena akhirnya. "Abang masih ada urusan di sini. Ada rekan bisnis yang mau ketemu."

Rein terdiam. Sena tidak bisa mengantarnya. Tapi dia tetap ingin pulang sekarang. Dia tidak ingin bertemu Arion dulu. "Rein mau pulang sekarang," lirihnya.

"Oke," seru Sena. "Abang antar kamu ke depan. Abang setopin taksi, mau?"

Rein berpikir sejenak. Tidak apa, yang penting dia pulang sekarang juga dan tidak harus bertemu Arion dulu. Tanpa pikir panjang lagi dia mengangguk yang dibalas Sena dengan senyum tipis.

..............................

Arion berjalan cepat menghampiri Sena dan tidak mendapati Rein di samping pria itu. Ditepuknya pundak Sena membuat pria itu tersentak dan seketika menoleh. Dia mengernyit saat Sena melengos setelah melihatnya.

"Mana Rein?" tanyanya langsung.

"Pulang," jawab Sena singkat sambil memainkan ponselnya.

Arion menarik lengan Sena. "Apa maksud lo dia pulang?" desisnya tajam yang biasanya membuat para karyawannya ketakutan. Tapi tidak dengan Sena.

Sena menatap Arion dengan tatapan menantang. "Ya pulang. Dia mau pulang, cuma gue nggak bisa antar dia karena gue masih ada urusan di sini. Ya udah, gue setopin dia taksi dan cus, dia pulang."

Rasa marah menyeruak dalam diri Arion. Kenapa Rein pulang tanpa pamit dengannya? Dan Rein pulang naik—Arion menarik kerah tuksedo yang dikenakan Sena. "Taksi?" pekiknya kuat membuat beberapa orang mulai memperhatikan mereka. "Sen, bilang ke gue kalau itu nggak bener," bisiknya.

Sena hanya diam. Dia memang salah membiarkan Rein pulang dengan taksi. Tapi ini juga menjadi salah Arion. Dari awal semuanya salah Arion.

Diamnya Sena membuat tubuh Arion melemas. "Sen, lo tahu gue nggak pernah biarin dia naik taksi sendirian." Sena masih diam membuatnya semakin geram. "SENA!" Teriakannya itu tidak sedikitpun membuat Sena bergeming dari tempatnya.

Ponsel Arion berdering membuatnya segera mengeluarkan ponselnya. Nomer tidak dikenal yang muncul di sana membuatnya ragu untuk menjawab panggilan tersebut. Tapi dirinya mengingat kejadian kantor polisi kemarin membuatnya segera mengangkat panggilan itu.

"Hello, Tuan Mandala," suara berat seorang pria terdengar dari seberang.

Dahi Arion berkerut. "Who?"

Pria di seberang telepon itu tertawa. "Akhirnya tiba giliran Anda, Tuan Mandala."

Arion mulai tidak sabar. "Siapa kamu?"

"Tiga wanita kemarin sebenarnya sudah cukup untuk saya. Saya berencana ingin melanjutkan hidup saya dengan tenang." Perkataan pria itu membuat Arion terpaku. Tiga wanita? Ingatannya langsung melayang ke pembunuhan tiga wanita kemarin. "Tapi tiba-tiba saja saya ingin mencoba sesuatu yang lebih menantang."

Dada Arion berdebar keras. Entah kenapa perasaannya menjadi tidak enak. Suara berisik di seberang telepon malah membuatnya semakin merasa cemas.

"Ayo, bicaralah."

Jantung Arion berdebar semakin keras. Tangannya yang memegang ponsel mulai basah oleh keringat.

"M-Mas Are..."

Dan dunia Arion seketika terhenti saat mendengar suara yang amat dia kenali. Rasanya seperti dunianya runtuh saat itu juga. Suara Rein di seberang membuat telinga berdenging. Pusing segera mendera kepalanya.

"Rein," Suaranya tercekat.

Sena langsung menoleh ketika Arion menyebut nama Rein. Dirinya heran ketika melihat sepupunya itu terpaku dengan tubuh gemetar.

"Tuan Mandala," suara pria itu terdengar lagi menggantikan suara Rein, "welcome to the hell." Pria itu tertawa keras sebelum sambungan panggilan itu terputus.

Arion tersentak. "Rein!" panggilnya panik. "REIN!" Tidak terdengar suara apapun lagi membuat tubuh Arion melemah hingga ponsel di tangannya terjatuh.

Dada Arion terasa sesak. Tubuhnya limbung membuatnya meraih meja dan menyangga tubuhnya di sana. Rein. Rein-nya. Adik kecilnya. Air matanya perlahan menetes. Air mata yang selama ini tidak pernah dia keluarkan. Dan membuat Sena terpaku ketika melihatnya.

Air matanya turun semakin deras hingga dia perlahan terisak. Hatinya kini diliputi perasaan takut. Rasa takut kehilangan itu menyeruak. Dia tidak ingin kehilangan Rein. Arion tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika sampai sesuatu yang buruk terjadi pada gadis itu. Seharusnya Arion tetap di samping gadis itu dan tidak membiarkannya pulang sendirian. Penyesalan itu terus menggerogoti hatinya bak virus penyakit mematikan.

Arion tidak kuat lagi berdiri. Pria itu jatuh terduduk. Dia tidak peduli dengan orang-orang yang melihatnya dalam kondisi mengenaskan seperti ini. Rein-nya menghilang. Rein-nya—adik kecilnya, yang selama ini dia jaga kini berada di tangan seorang pembunuh gila dan ini semua karena dirinya.

14 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang