D U A P U L U H

297 19 8
                                    

Arion menatap sedih danau di depannya. Terbayang di hadapannya saat ini Rein yang tidak bisa berenang berteriak meminta tolong sebelum akhirnya perlahan teriakannya menghilang. Sesak itu kembali dirasakannya. Dia merasa bersalah. Tidak, tidak. Dia memang bersalah.

Matanya lalu menatap sekeliling hingga tertuju pada sebuah bangunan setingkat yang tidak terpakai—mungkin lebih terlihat seperti gudang. Kakinya melangkah hingga tiba di depan pintu yang juga dipasangi garis polisi. Melihat pintunya yang dirantai dan digembok membuat tatapannya sekali lagi mengedar hingga menemukan sebuah kayu panjang yang segera diambilnya.

Arion menimbang kayu itu sejenak. Beberapa saat kemudian dipukulkannya kayu itu ke gembok. Berulang kali sampai akhirnya gembok itu patah. Pria itu meredakan napasnya yang naik-turun tidak teratur. Dilemparnya kayu itu sembarangan lalu melepas rantai yang membelit gagang pintu tersebut.

Gelapnya suasana dalam gudang itu menyambut Arion ketika pintu terbuka. Dia melangkahkan kakinya masuk sambil mengamati setiap sudut bangunan yang ternyata hanya sepetak tapi cukup luas. Ruangan tersebut sepertinya merupakan tempat penyimpanan bahan bangunan. Dilihat dari adanya sekop, cangkul, beberapa sak semen, ember-ember, lalu beberapa kaleng cat. Lantainya hanya disemen kasar sementara dindingnya juga tidak dicat dan terlihat kusam.

Arion berjalan masuk lebih dalam. Dia mendapati sebuah kasur di salah satu sisi ruangan dan duduk di sana. Matanya menatap coretan di dinding yang kebanyakan tulisan tidak teratur. Ada juga sebuah gambar sebuah lingkaran yang didalamnya terdapat segitiga—lebih menyerupai seperti payung dengan dua gagang. Dahi Arion mengernyit. Gambar itu terlihat familiar di matanya. Tapi sayangnya Arion lupa di mana dia pernah melihat gambar itu.

Dia mengalihkan pandangannya pada salah satu tulisan di sana. Ada namanya yang langsung membuatnya sadar kalau itu ditulis oleh Rein.

Mas Are, tolong Rein...

Arion memejamkan matanya. Sesak itu kembali menghampirinya. Senyum Rein di hari gadis itu diculik kembali terbayang membuat pria itu ingin berteriak dan menangis sekeras-kerasnya. Ah, Arion memang menjadi cengeng sejak kematian Rein. Sudah tidak terhitung berapa banyak air mata pria itu yang keluar untuk menangisi istrinya. Adik kecilnya.

Kenapa sulit sekali bagi Arion untuk menerima kenyataan bahwa Rein telah meninggalkannya?

Sehari pun tidak pernah Rein tidak ada di sekitarnya. Gadis itu selalu menghiasi harinya. Bahkan setelah gadis itu sudah tidak ada, Rein masih menghiasi mimpinya. Menakutinya dan membelenggunya dalam sakitnya sebuah mimpi buruk sampai akhirnya dia terbangun untuk menerima kejamnya kenyataan yang harus dia terima.

Hanya jika Arion tahu semuanya akan jadi seperti ini, Arion tidak akan menemui kekasihnya. Arion akan tetap berada di sisi Rein sehingga gadis itu tidak perlu tahu bahwa Arion selama ini bermain api. Lalu kembali berkhayal kalau saja Rein ditemukan, dia lebih memilih gadis itu meminta cerai darinya. Setidaknya Arion tetap bisa melihatnya. Setidaknya Arion tidak akan meratapi hari-harinya dengan tangisan karena harus menerima kenyataan Rein sudah tidak ada.

Segalanya menjadi sangat menyakitkan. Dan Arion tidak tahu harus bagaimana menangani rasa sakitnya ini.

...............................

Arion kini duduk di bangku pengemudi. Mobilnya masih belum meninggalkan danau. Kedua tangannya memegang setir kemudi sementara kepalanya tertunduk hingga keningnya bertumpu pada benda berbentuk lingkaran itu. Dirinya menghela napas panjang.

Besok adalah peringatan empat puluh hari kematian Rein. Besok juga dia memutuskan untuk melanjutkan hidupnya dengan pindah ke New York. Dia akan mengurus perusahaan cabangnya di sana. Arion sudah membicarakannya dengan ayahnya dan pria tua itu setuju. Untuk sekarang ini yang tahu rencananya itu hanya ayahnya. Malam ini dia akan memberitahu ibunya dan Nadya.

Tidak mudah baginya untuk mengambil keputusan itu. Butuh sebulan untuknya menangisi kematian Rein hingga perlahan pikirannya mulai jernih. Lalu berpikir kalau keputusan itu sudah tepat. Dia akan menetap di sana dan mulai melupakan Rein.

Tapi tentu saja tidak semuanya berjalan dengan keinginan Arion.

Inginnya ketika dia meninggalkan Indonesia, meninggalkan kota kelahirannya, perasaannya sudah ringan. Setidaknya saat ini setelah dia mengunjungi tempat Rein meregang nyawa, dia akan merasa lega.

Tapi sayangnya tidak. Arion malah merasa beban berat itu semakin menghimpit dadanya. Rasa bersalah itu semakin menjadi. Dan hanya dengan memikirkannya membuat kepala Arion sakit setengah mati.

Rasa pening itu mengambil alih pikirannya. Hingga sakit itu mulai membuatnya hilang kesadaran. Sebelum kegelapan menyambutnya, tanpa sadar hatinya berbisik.

Tuhan, andai saja bisa, bolehkah aku meminta kesempatan kedua? Kembalikan Rein, aku... aku ingin bersamanya. Aku berjanji akan membahagiakannya dan tidak akan pernah menyakitinya lagi. Tuhan, bisakah? Aku jarang meminta pada-Mu, tapi kali ini saja. Aku memohon pada-Mu. Kembalikan Rein ke pelukanku.

...............................

Bayangan itu terus terputar seperti kaset film. Kenangan-kenangan itu, saat dirinya bersama Rein. Momen ketika Rein masih di kandungan ibunya. Lalu ketika gadis itu mulai berumur lima tahun hingga beranjak remaja sampai senyum Rein di pesta itu. Semuanya diputar ulang seolah sedang mengejeknya. Dan sesaat kemudian cahaya putih itu menyilaukan matanya.

Mata itu perlahan terbuka. Dia mengangkat kepalanya dan mengernyit saat merasakan pening hebat ketika melakukannya. Pria itu meringis selama beberapa saat hingga pelan-pelan sakit itu berkurang. Dia mengerjap berulang kali dan menyadari bahwa dia masih duduk di mobilnya yang terparkir tidak jauh dari danau.

Arion tidak mengingat apa yang telah terjadi padanya. Apa dia baru saja tertidur? Tapi kenapa rasanya sangat lama? Apa dia pingsan? Ah, Arion lebih memilih tertidur daripada pingsan.

Pria itu melonjak kaget saat mendengar dering ponsel yang memekakkan telinga. Dia mencari-cari di mana dia meletakkan ponselnya hingga menemukan benda itu di bangku sebelahnya. Matanya menyipit saat melihat nama kontak telepon rumahnya muncul di layar. Keningnya mengerut. Tapi tak urung diangkatnya panggilan itu.

"Halo, Mas Are? Mas di mana sih? Rein lapar, cepetan pulang."

Seketika tubuh Arion membeku.

o000o

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 06, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

14 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang