E N A M

99 11 0
                                    

Setahun kemudian...

"Pembunuhan kembali marak terjadi di tahun ini. Kali ini, seorang mayat perempuan lagi-lagi ditemukan di sebuah bak sampah yang ada di belakang sebuah gedung apartemen. Seorang warga yang merupakan penghuni apartemen tersebut mengatakan bahwa mayat perempuan itu adalah salah satu tetangganya."

Rein menyantap sarapannya dalam diam dengan tatapan terfokus pada layar televisi. Demi menyaksikan berita ini, ia rela duduk di lantai sambil menikmati sarapannya. Di belakangnya, Arion duduk di sofa dengan mata tertuju pada tablet di tangannya. Pria itu terlihat serius, sesekali keningnya akan berkerut.

"Mayat perempuan ini ditemukan dalam kondisi cukup mengenaskan. Dres merah yang dikenakannya penuh dengan darah dan kondisinya pun sudah tidak layak. Luka tikam terlihat jelas di bagian perut. Selain itu, di bagian leher terdapat bekas luka disayat. Wajah korban penuh lebam, di duga sebelum dibunuh, korban dianiaya lalu diperkosa."

Layar televisi memperlihatkan suasana di lokasi penemuan mayat. Rein berseru kagum ketika kamera tidak sengaja menyorot wajah kakaknya, Alexander Adrianne. Arion melirik gadis itu sekilas dan menggeleng melihat kelakuan bodohnya. Setiap kali melihat Alex di televisi, Rein akan bertingkah kekanakan seperti itu.

"Bibi," panggil Arion ketika Bi Wiwit lewat.

"Ada yang bisa Bibi bantu, Mas?" Bi Wiwit mendekat.

Arion menunjuk Rein dengan jengah. "Tolong ambilin dia minum, Bi."

Bi Wiwit tersenyum, mengiyakan perintah Arion, lalu berlalu dari hadapan pria itu. Tak lama kemudian, perempuan yang umurnya hampir setengah abad itu kembali dengan segelas air di tangannya. Diberikannya air itu pada Arion yang langsung menggumamkan kata terima kasih dan menyuruh perempuan itu untuk kembali bekerja.

"Polisi sedang memeriksa CCTV di sekitar lokasi, tetapi sayangnya polisi belum menemukan titik terang."

Arion meletakkan gelas itu di atas meja. "Minum," suruhnya yang langsung dituruti oleh gadis itu. Arion ikut menyesap kopi paginya. Mereka berdua lebih terlihat seperti pasangan ayah dan anak.

"Mas, hari ini Rein berangkat sama Mas ya?" tanya Rein semangat.

Arion hanya meliriknya sekilas, tapi selanjutnya terdengar gumaman mengiyakan dari bibirnya. Rein tersenyum gembira. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia berangkat kuliah bersama Arion.

"Oh iya, Mas. Mas ingat hari ini hari apa?" tanya Rein lagi.

"Hari Senin," jawabnya malas.

Rein merengut. Apa Arion lupa? Tapi masa pria itu lupa ulang tahunnya sendiri? Ah tidak apa, itu berarti hadiahnya nanti akan menjadi kejutan bagi pria itu. Batinnya berseru senang. Ia sangat suka kejutan. Rein kembali melanjutkan sarapannya ketika tayangan berita tadi digantikan oleh iklan. Melihat itu, Arion segera meraih remote televisi dan menggantinya ke tayangan lain yang langsung diprotes oleh Rein.

"Mas, jangan diganti!" serunya dengan mulut penuh makanan. Ia mencoba untuk merebut kembali remote televisi itu dari tangan Arion. Gerakannya terhenti ketika terdengar suara musik yang familiar dari televisi. Sontak Rein berseru girang. "Rizky Fabian!" teriaknya histeris kesenangan.

Arion memutar bola matanya malas. Tahu begini lebih baik dia ikut menonton berita tadi saja. Setidaknya ia tidak perlu melihat tingkah Rein saat fangirling seperti ini. Arion menatap Rein yang kini sedang bernyanyi mengikuti suara dari televisi.

Berada di pelukanmu,

Mengajarkanku apa artinya kenyamanan,

Kesempurnaan cinta

Berdua bersamamu,

Mengajarkanku apa artinya kenyamanan,

Kesempurnaan cinta

(Rizky Fabian – Kesempurnaan Cinta)

Arion melengos. Ia benci ketika harus melihat Rein seperti ini. Rein akan melupakan segalanya saat berhadapan dengan hal-hal yang dicintainya seperti sekarang. Termasuk dia. Arion menghela napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha menghilangkan pemikirannya yang melantur tadi.

Pria itu bangkit dari sofanya. "Mas mau siap-siap ke kantor dulu." Ia berjalan menuju tangga.

Rein tersentak dan langsung menoleh. Tapi gerakannya yang tiba-tiba dan ceroboh membuatnya menyenggol gelasnya yang berisi air. Dan, prang! Gelas tersebut pecah berserakan di lantai. Arion yang baru hendak menaiki tangga langsung menoleh dan segera kembali menghampiri Rein. Ia tertegun melihat gelas yang pecah di samping Rein dan napasnya tercekat ketika pecahan gelas tadi mengenai kaki gadis itu yang kini mengeluarkan darah.

"Kamu nggak papa, Rein?" tanyanya panik.

Arion berteriak memanggil Pak Tomo yang tak lama datang dengan terburu-buru. Segera diperintahnya pria itu membereskan pecahan gelas tadi. Arion menatap Rein yang kini menatap lukanya lekat-lekat seolah sedang meresapi setiap tetes darah yang keluar dari lukanya. Napasnya kembali sesak. Arion, seumur hidupnya mengenal gadis itu, tidak pernah membiarkannya terluka dan tergores hingga mengeluarkan darah, baik ketika bersamanya maupun tidak. Tapi hari ini untuk pertama kalinya ia melihat darah keluar dari kaki gadis itu. Dan itu menjadi pukulan tersendiri baginya.

o000o

14 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang