"Gimana proyek di Balikpapan?" tanya Arion sambil meletakkan sekaleng minuman soda di hadapan Sena lalu duduk berseberangan dengan sepupunya itu.
Sena membuka penutup minuman kaleng itu dan langsung meminumnya hingga tersisa setengahnya. "Well, sejauh ini berjalan lancar. Menurut gue lahannya cukup bagus, strategis. Dan untungnya nggak ada penduduk yang protes sama proyek kita ini."
Arion menyandarkan tubuhnya dan ikut menenggak minumannya. "Kapan pembangunannya dimulai?"
"Minggu depan."
"Gue ikut sama lo ya." Ia meletakkan kaleng minuman yang telah kosong ke atas meja rendah di hadapannya.
"Oh? Lo mau ikut ke Balikpapan? Terus Rein gimana? Lo tinggal sendirian?" Sena menatap Arion tidak percaya.
"Di rumah ada Bi Wiwit sama Pak Tomo kali, Sen." Arion mendengus. Ia tidak suka jika Sena mulai mempertanyakan tentang Rein padanya.
Sena menghempaskan punggungnya pada sandaran sofa. Ia menatap Arion dengan mata menyipit. "Are, gue heran sama lo. Tiap kita bahas Rein, muka lo selalu kayak gitu. Dan ini terjadi sejak lo menikah sama Rein."
Arion memalingkan wajahnya. Bibirnya mengatup, tidak berusaha untuk membalas perkataan Sena. Karena memang perkataan pria itu benar adanya. Sejak menikah dengan Rein, semua rasanya seakan tidak sama lagi. Rasa sayangnya terhadap gadis itu sedikit demi sedikit mulai memudar. Yang tersisa hanya perasaan tidak suka dan ingin menjauh.
Ketika ia berhadapan dengan Rein, perasaan tidak suka itu selalu muncul tidak dapat dicegah. Oleh karena itulah, ia mulai tidak pernah mengantar jemput gadis itu, mengajaknya makan siang, dan membantu mengerjakan tugas. Ia selalu pulang larut malam. Terkadang ia tidak pulang hingga beberapa hari. Ketika ada pekerjaan yang mengharuskannya untuk pergi ke luar kota, Arion tidak akan ragu untuk melakukannya. Semuanya ia lakukan demi menghilangkan perasaan sesak yang ia rasakan setiap kali bertatap muka dengan Rein.
"Lo nggak tahu gimana perasaan gue, Sen," Arion akhirnya mengeluarkan suara. "Gue dinikahin sama Rein tanpa gue cinta sama dia. Demi Tuhan, dia cuma gue anggap adik gue sendiri. Gue dipaksa buat nikah sama dia. Gue merasa terkekang, Sen. Napas gue sesak tiap ngelihat Rein." Ia menarik napas panjang.
Sena terdiam. Ia mencoba meresapi kalimat demi kalimat yang diucapkan Arion. "Jadi, lo nggak cinta sama dia, Are? Setahun pernikahan kalian nggak bisa membuat lo cinta sama dia?"
Arion menggeleng pelan. "Selamanya gue akan memandang dia sebagai adik gue, Sen. Nggak lebih."
Sena menghela napas dalam-dalam. Ia tidak mengerti dengan jalan pikiran Arion. Kenapa pria itu tidak bisa mengetahui bagaimana perasaannya sendiri? Seluruh perilaku yang ditunjukkan Arion ketika Rein masih kecil hingga sebelum menikah, membuatnya yakin bahwa perasaan sayang yang dirasakan pria itu lebih dari rasa sayang ke seorang adik.
Dering ponsel memecah keheningan di antara mereka. Suara ponsel Arion. Dengan cepat pria itu bangkit dan mengambil ponselnya yang ia letakkan di atas meja kerjanya. Nama yang muncul di layar ponsel itu membuatnya terdiam. Ia tidak bisa mengangkat panggilan tersebut. Tidak ketika ada Sena yang kini menatapnya. Jadi ketika dering ponsel itu berhenti, Arion segera memakai jasnya yang ia sampirkan di kursi kerjanya.
"Sen, gue ada urusan di luar. Gue duluan ya." Arion memasukkan ponselnya ke saku jasnya dan bergegas keluar dari ruangannya.
"Arion." Suara Sena yang memanggil namanya membuat gerakan tangannya yang hendak membuka pintu terhenti seketika. "Lo masih berhubungan sama cewek itu?" Punggung Arion menegang mendengar pertanyaan Sena.
Tanpa membalikkan tubuhnya, Arion menjawab, "Bukan urusan lo." Dengan sekali sentakan ia membuka pintu dan meninggalkan Sena yang duduk termangu di sofa.
o000o
KAMU SEDANG MEMBACA
14 Days
Roman d'amourBagi Rein, Arion terlalu sulit untuk digapai. Hingga sekuat apapun Rein berlari untuk menggapainya, Rein tidak akan bisa meraih pria itu. Karena ketika Rein berlari, maka saat itu pula Arion akan berlari. /// Rein dan Arion saling mengenal sejak kec...