Chapter 19

11K 516 4
                                    

Saat itu, hanya bungkaman yang Rafif lakukan. Di otaknya dia memikirkan apa nama yang cocok untuk anaknya.

"Abiyu Qhutni Rasyiqul"

Benarkah? Itukah nama indah untuk anak ku? Dan yang memberi nama adalah suami ku sendiri?

Fiqa kaget, difikirannya pastilah suaminya itu tak akan memikirkan dirinya atau pun anaknya. Catat, ANAKKU BUKAN DIA!! tapi dia masih perduli dan mau memberi nama bayi ku.

"Indah sekali nama anak kalian. Jaga baik-baik ya bang, sekarang tanggung jawab abang bertambah bukan cuma Fiqa tapi ada bayi Abiyu" nasihat Ai untuk abangnya.

Sedang di diri Rafif, ia merutuki mulut lancangnya ini. Kenapa dia harus menyebutkan nama yang sebelumnya tak ada di otaknya sama sekali.

Tapi, Rafif pun tak bisa membohongi dirinya, saat menyentuh kulit lembut Abiyu, mengadzani sebagai ayahnya, dan menatapnya ada kebahagiaan di hati ini.

Abiyu tak berdosa, jadi aku harus mengasihi dan berlaku selayaknya ayah yang mendidik anaknya dengan baik.

Tatapannya beralih menuju Fiqa yang masih lemas karena melahirkan tadi, wanita itu begitu tegar tapi sebenarnya sangat ringkih.

Jahat? Yah Rafif pun merasa dirinya jahat tapi sebagian hatinya meronta, dia ingin menikah dengan wanita yang jauh disana. Wanita itu sangat setia menunggunya tapi sekarang Rafif telah menjadi seorang ayah.

Persis seperti yang Nara katakan kalau tanggung jawab ku bertambah sekarang. Dan sangat sulit untuk meninggalkan dia dan juga malaikat kecil yang sedang pulas dipelukan... bunda? Umi? Atau mamah? Arghh...kenapa selalu memikirkan Fiqa terakhir ini.

DEG!!!

Senyumnya... kenapa aku baru sadar kalau senyumnya begitu indah. Astaghfirullah kenapa dengan otak ini? Tapi...halal bagi ku memandang Fiqa.

"Abang kenapa natap Fiqa begitu?"

Rafif blingsatan mencari kata yang pas untuk membalas pertanyaan yang dilontarkan Fiqa. Dan ternyata di ruang rawat ini hanya ada kami bertiga, aku, Fiqa dan juga anak kita.

Anak kita? Siapkah aku sebagai ayah?? Oh Allah sungguh rahasia hidup hanya engkau yang mengetahui.

"Biarkan aku menggendong Abiyu" entah dari mana, rasanya Rafif ingin sekali membawa anak Fiqa kedalam dekapannya.

Fiqa tersenyum, lalu memberikan Abiyu ke Rafif. Dipandangi wajah Rafif yang tersenyum tulus menatap Abiyu yang sangat nyaman di gendongan Rafif. Ya allah teruslah seperti ini. Aku bahagia melihatnya tersenyum meski bukan untuk ku, tapi dia tersenyum untuk anak yang bukan sama sekali darah dagingnya.

"Terimakasih bang... terimakasih karena telah mengadzani anak ku. Terimakasih karena telah memberikan nama yang indah untuk anak ku. Terimakasih karena kamu mau memeluk dan tersenyum kepadanya." Ucap Fiqa yang sudah terisak karena tangisnya.

Rifan terdiam, telinganya sangat terganggu saat Fiqa hanya mengucap kalau Abiyu adalah 'anaknya' bukan 'anak kita' seburuk itukah aku sehingga Fiqa tak mau memberikan posisi ku sebagai ayah?

"Anak kita. Aku ayahnya dan akan ku berikan yang terbaik untuknya. Akan ku didik dengan prinsip agama, agar kelak dia bisa menjadi anak yang berbakti dan selalu menjalankan segala yang Allah perintahkan"

Fiqa menangis lagi, benarkah? Dia mengakui kalau Abiyu adalah anaknya bukan anak ku saja. Nikmat mu ini sungguh sangat besar Ya Allah...

"Apa kamu keberatan kalau aku menjadi ayahnya?"

Fiqa menggeleng meyakinkan Rafif kalau bukan maksudnya seperti itu. "Hanya saja... Fiqa fikir abang ngga akan mau nerima anak Fiqa karena dia bukan anak kandung abang"

"Malaikat kecil ini ngga berdosa. Mari kita coba membangun rumah tangga ini sebagai semestinya. Tapi maaf, kalau sampai saat ini aku masih mencintai Angelica. Akan ku coba lupakan dia dan memulai semuanya dengan kamu dan anak kita"

Fiqa menangis lagi tanpa henti, penantian panjangnya telah terbayar. Meski Rafif secara gamblang mengaku kalau masih mencintai wanita itu setidaknya dia mau berusaha menyayangi Fiqa.

Sedang di balik kamar rawat Fiqa, ada sosok Ainayya Inara yang tersenyum bahagia, sahabatnya dan abangnya sudah berada pada posisinya seharusnya. Bayi Abiyu sudah merubah segalanya.

"Terimakasih ya Allah, atas rahmat dan karunia mu. Nikmat ini sungguh besar. Penantian sahabat ku telah berakhir. Dan jalan keliru yang di jalani abang selama ini sudah terpangkas. Semoga akan selalu begini seterusnya"

Ai pun menangis bahagia di balik pintu. Niat awal mengantarkan minum untuk abangnya malah mendengar kata-kata bahagia yang selalu diharapkan semua orang selama ini, terutama Fiqa.

-----
Malam tiba, Ai dirumah sendiri karena harus belajar mempersiapkan jelang masa UN yang tinggal 2 minggu lagi.

Tak sabar rasanya melewati hari terakhir di sekolah. Ia ingin sekali cepat berlibur karena sudah merindukan Rifandi yang juga sama sibuknya mempersiapkan segalanya.

Ai tersenyum saat membaca kembali surat yang setiap minggu dikirim Rifandi untuknya. Peraturan pesantren yang tak boleh membawa ponsel mengaharuskan Rifandi mengirim surat setiap minggunya untuk sekedar saling komunikasi.

Apa kabar wahai makmum ku? Aku rindu. Tapi kita jauh. Ohh tenanglah hanya jarak yang membuat kita jauh tapi doa selalu saja kupanjatkan agar selalu merasa dekat dengan mu, tentu saja atas seizin Allah. ~rifandi.

Bagaimana hari ini? Bunda sehat kan? Maaf kalau aku selalu merepotkan kamu, karena aku mondok kamu harus rawat bunda sendiri. Maaf. ~Rifandi.

Aku dengar kemarin Fiqa melahirkan Dan anaknya laki-laki. Aku bahagia, satu sahabat kita Sudah mendapatkan kebahagiaannya. Tapi kapankah hari bahagia itu akan datang kepada kita? Hanya Allah yang tahu.~Rifandi.

Maaf, aku belum siap. Biarkan ini menjadi teka-teki hidup ku sendiri. Aku ngga mau kamu terbebani. Do'a kan aku selalu.~Rifandi.

Kening Ai berkerut membaca surat yang terakhir ini. Teka-teki seperti apa yang dimaksud Rifandi? Akankah teka-teki itu sebuah kejutan yang membahagiakan ataukah kejutan yang mengerikan?

Entah kenapa hati ini selalu gusar semenjak hari itu. Tak ada seorang pun yang tahu mengenai hari itu bahkan Rifandi sekalipun. Diambilnya air wudlu dan menunaikan sholat isya.

Di setiap detiknya waktu sholat tak henti Ai menitihkan air matanya, hingga di penghujung salam tangisnya semakin terisak meski sangat pelan.

"Assalamualaikum,,, kita ketemu lagi. Apa kabar Nara? Boleh aku bicara sebentar?"

"Ya, aku baik. Bagaimana dengan kamu sendiri? Bicara apa?"

"Mengenai Rifandi, Abi ku baru berbicara kemarin kalau Rifandi seharusnya memperistri diriku karena almarhum ayah Rifandi sendiri yang mengucapkan itu ke ayah. Aku... sebenarnya tak ingin membuat kamu terluka karena aku tau kamu sudah menikah sama Rifandi. Tapi aku ngga bisa bohong kalau akupun menyayangi Rifandi secara diam"

Masih terbayang perkataannya beberapa hari yang lalu saat Ai sedang ingin pulang sekolah. Rahasia Allah sungguh dahsyat. Apa yang harus dilakukan, Ai saja sampai saat ini bingung.

Wanita itu...dia baik sekali, sangat egois kalau Ai memberi peringatan kalau Ai adalah istri Rifandi dan tak ingin Rifandi menikahi siapapun setelah dirinya, hanya dirinya dan cukup dirinya yang menjadi makmum Rifandi...

~~~~~~~~~~~~~
Assalamualaikum...

Sudah aku bilang kalau akan ada kejutan kan;) sudah merasa cukup terkejut? Siapa sih wanita yang berbicara dengan Ai itu? Dan Fiqa-Rafif lagi akur ya...

Tetap baca okeyyy!:)

Jilbab Ku [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang