Chapter 41

10.2K 425 5
                                    

Lengkap sudah kebahagiaan Ai. Seorang Imam yang sangat Ai hormati saat ini sedang mengganti popok anaknya, bukan Ai yang meminta tapi Aiden sendiri yang ingin melakukannya 'biar aku aja, aku juga orang tua nya jadi aku juga mau rasain pakein popok anak kita' Ai tersenyum haru mendengar penuturan Aiden, dunia Ai sudah nyaris sempurna rasanya. Alhamdulillah...

Anindita Ufairah Ahsan. Nama bayi Ai dan juga Aiden. Nama belakangnya adalah nama Aiden yaitu Aiden Abqari Ahsan.

Maka nikmat tuhan manakah yang ingin kamu dustakan??

"Ka... "

Aiden yang merasa di panggil menoleh ke arah Ai sambil menimang si kecil.

"Terimakasih untuk semua kebahagiaan ini"

Aiden mengernyitkan dahinya karena bingung dengan sikap Ai yang tiba-tiba jadi perasa dan sering menangis sepeerti ini.

"Ndaaa... "

Belum usai perbincangan Ai dan juga Aiden sudah ada Hafidz yang datang dan sedang mengintip di balik pintu yang tidak terkunci. Ai memberi isyarat Hafidz agar masuk ke dalam kamar.

"Adik Anin sedang apa? "

"Sedang ingin minum susu. Adiknya lapar"

"Bunda mau Kasih adik susu dulu ya, Hafidz main sama ayah dulu"

Beginilah rutinitas Ai setelah menjadi ibu dari dua anak, rumah menjadi lebih ramai karena suara tangisan Anindita serta celotehan Hafidz. Rasa sayang Hafidz untuk Anindita juga sangat tulus yang membuat Ai merasa bahagia, mereka bukanlah saudara sedarah tapi Ai akan berusaha membuat Hafidz menyayangi Anindita seperti saudara kandung.

——————

"Assalamualaikum ayah, bunda, ka Hafidz"

Gadis cantik dari keluarga Aiden menuruni tangga dan menyapa semua anggota keluarganya seperti biasa. Gadis itu adalah Anindita, hari ini tepat usia Anin yang ke 17 tahun.

"Ayah... Kamera yang aku minta mana? "

Sejak kemarin Anin mendesak ayahnya untuk membelikan kamera sebagai hadiah ulang tahun dan kemudian menatap Hafidz menagih kado tapi Hafidz seolah tak perduli dan pamit untuk ke restaurant yang sudah di kelola Hafidz sejak dua tahun terakhir.

"Bunda... Kok ka Hafidz gitu sih sama aku? "

Ai mengelus sayang kepala anaknya, bukan tak tahu atau tak memperhatikan, selama ini Ai tahu kalau diantara Hafidz dan Anindita tumbuh rasa lain bukan hanya sebatas saudara. Baik Ai atau Aiden tidak melarang rasa itu tumbuh karena memang di perbolehkan jika mereka nantinya akan menikah. Selaku orang tua Ai dan Aiden hanya bisa memantau sejauh apa kedekatan anak-anaknya.

"Kaka kamu itu kan lagi sibuk ngurus restaurant jadi ya wajar kalau kesannya cuek gitu. "

Anin hanya mampu menekuk wajahnya sedari tadi sampai tiba di kelas, banyak yang mengucapkan selamat karena Anin telah menginjak usia tujuh belas tahun tapi rasanya tetap kurang tanpa ucapan dari seseorang yang sangat berarti untuk Anin, sikap cuek Hafidz masih tetap terbayang sejak tadi.

"Anin... Lo harus traktir gua makan di kantin hari ini"

Via, sahabat Anin sejak kecil yang tiada hentinya bersuara toa ini cukup membuat suasana hati Anin menjadi lebih buruk dari sebelumnya.

"Anin di panggil pak Abi di ruangannya. " Doni sang ketua kelas tiba-tiba datang dan membuat Anin berdiri dari tempat duduknya dengan lesu menuju ruangan dimana ada seseorang yang memanggilnya tadi.

"Assalamualaikum.. Ka Biyu... " sejak tadi sebenarnya Anin tidak ingin kesini karena setiap kesini pastilah Anin tidak bisa menyembunyikan masalahnya ke orang yang satu ini. Masih ingat dengan anak dari Fiqa dan Rafif yang bernama Abiyu, dialah orang yang saat ini sedang memeluk Anin sayang.

"Waalaikumsalam... Kenapa lagi sama Hafidz? "

Anin menceritakan semuanya dan Abiyu menghela nafasnya, sejak dulu Anin selalu mencoba menarik perhatian Hafidz tapi Hafidz adalah orang yang sangat tertutup.

"Anin cari cowo lain aja lah, emang ngga capek nunggu Hafidz terus? " Anin menerawang bagaimana sikap Hafidz selama ini, dalam hati kecil, Anin yakin kalau Hafidz juga merasakan hal yang sama tapi kemudian saat melihat sikap Hafidz yang dingin membuat hati Anin menjadi ciut.

"Kata bunda, Anin bebas punya perasaan ke siapa pun asal Anin bisa jaga rasa itu sampai waktunya tiba. Anin ngga mau besar kepala tapi ngga mau juga bersikap pesimis. Ka Biyu percaya sama Anin kan? "
—————
"Assalamualaikum bunda..."

Ai menatap Hafidz lembut dan meminta Hafidz untuk duduk di samping nya setelah menjawab salam Hafidz, sejak dulu Hafidz selalu seperti ini, bercerita hanya pada Ai sekedar meminta masukan. Tidak ada yang tahu bagaimana perasaan Hafidz untuk Anin kecuali bundanya.

"Aku Kasih kado apa ya bun? "

"Terserah kamu dong, jangan yang terlalu mahal asal bermanfaat aja. "

Hafidz mengangguk dan membuka benda persegi yang selalu ada di saku Hafidz.

"Bunda setuju kalau Hafidz menikah? "

Ada raut terkejut dalam wajah Ai tapi kemudian Ai mengulas senyum dan mengelus kepala Hafidz sayang. "Niat baik akan selalu bunda dukung. Jangan lupa kabari ayahmu. "

Hafidz mengangguk dan melangkah ke kamar meninggalkan Ai yang sejak tadi menatap Hafidz dengan tatapan bahagianya. Hafidz tumbuh menjadi anak yang dingin tapi penyayang, hatinya lembut tapi untuk menutupi segala masa lalunya Hafidz menjadi seorang pendiam, cuek dan irit bicara, hanya pada Ai seorang Hafidz bisa menjadi anak yang penurut dan terbuka.

Malam tiba, saat ini semua keluarga Aiden sedang makan bersama di ruang makan. Hanya ada suara dentingan dari alat makan sampai akhirnya Hafidz membuka suara yang membuat semua orang diam tak berkutik kecuali Ai.

"Hafidz ingin mengkhitbah dia yah, bun. Ayah Rifan juga sudah Hafidz beritahu. Alhamdulillah beliau setuju. "

Semua diam dan Anin seketika merasa hancur, berakhirkah penantiannya sekarang ini? Tidak bisakah kisah ini seperti seorang Fatimah yang akhirnya mendapatkan Cinta seorang Ali??

~~~~~~~~~~~~~~
Assalamualaikum...

Mungkin banyak yang mikir kenapa cerita ini tiba-tiba Anindita udah 17 tahun??  Karena sebenernya aku mau cepat selesain cerita ini :)

Jilbab Ku [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang