Fifteen

14 2 0
                                    

"Bagaimana tugasmu tadi? Apa sudah selesai?" Tanya mama yang baru pulang dari supermarket sambil merapikan barang-barang yang baru ia beli tadi. Aku pun membantunya merapikan barang-barang tersebut.

Hmm, bagaimana aku bisa menyelesaikan tugas sekolahku dengan baik tadi jika di rumah Richard sedang dalam keadaan panas seperti itu? Tadi kan aku memutuskan untuk langsung pulang ke rumah menggunakan taksi. Lebih baik aku mengerjakannya sendiri di rumah. Lebih aman dan tenang.

"Umm.. udah kok ma. Udah beres. Oiya ma, aku ke kamar dulu ya. Mau istirahat, cape" jawabku

Bohong. Boro-boro selesai. Baru saja aku akan mengerjakannya sekarang di kamar.

"Oke" balas mamaku singkat

Aku segera memasuki kamar. Membuka laptop, dan mulai mengerjakan tugasku yang seharusnya dikerjakan bersama Richard tadi. Tapi apa mau dikata? Tidak mungkin kan aku datang dan masuk ke rumahnya dalam keadaan seperti itu?

Aku pun menyelesaikan tugasku dengan cepat karena aku mulai mengantuk. Hanya butuh waktu 1 jam untuk menyelesaikan tugasku ini.

Ditelingaku masih terngiang-ngiang percakapan Richard, ayahnya, beserta dua perempuan yang tidak kuketahui siapa mereka. Yang satu terdengar membela ayah Richard, sedangkan perempuan yang satunya lagi terdengar membela Richard. Entah apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana. Aku pun masih bingung.

Aku yang baru selesai mengerjakan tugas dan sedang berbaring di tempat tidur pun terus saja mengingat-ngingat percakapan mereka tadi. Sulit rasanya untuk menghilangkan tentang apa yang mereka bicarakan tadi. Meski aku tidak mengerti apa yang sebenarnya mereka bicarakan, namun percakapan itu seakan-akan melekat di benakku.

Tunggu.

Dari berita yang ku tonton kemarin, kepolisian menyatakan bahwa mereka sedang mengejar pelaku. Dan tadi ayah Richard berkata bahwa keberadaannya sudah mulai diketahui oleh polisi. Kurasa ini semua bisa jadi berhubungan dengan kematian Melissa. Tapi apa mungkin ayah Richard memiliki keterkaitan dengan kasus penembakan Melissa? Entahlah. Aku pun bingung.

***
Hari ini aku kembali bersekolah. Seperti sekolah pada umumnya, setiap hari Senin sekolahku juga mengadakan upacara bendera. Selesai upacara, para murid dipersilakan untuk kembali ke kelas masing-masing. Aku kembali ke kelas bersama Cindy sambil berbincang-bincang di sepanjang perjalanan. Tapi aku tidak menceritakan kejadian di rumah Richard kemarin kepada Cindy. Aku tidak berani menceritakan hal ini kepada siapapun sekarang. Entah mengapa.

"Elena!" Panggil seseorang yang sepertinya berada di belakangku

Langkahku dan Cindy terhenti. Aku pun segera menoleh.

Ternyata itu Richard.

"Eh Richard, hai" balasku sambil menyapanya

Aku berusaha untuk tetap tenang dan terlihat baik-baik saja di depannya. Aku tak ingin dia tahu bahwa aku mendengar semua percakapannya saat ia bertengkar dengan ayahnya kemarin. Meski sebenarnya jauh di dalam hati, aku merasa bingung dan cemas.

"Umm, apa kamu ke rumahku kemarin?" Tanyanya

Deg.

Jantungku terasa seperti berhenti sejenak. Apa yang harus kukatakan padanya? Apa aku harus berterus terang? Tidak. Itu tidak mungkin.

"Hmm, tidak. Kemarin aku ada acara keluarga mendadak, jadi aku pergi bersama keluargaku dan tidak bisa berkunjung ke rumahmu dan menyelesaikan tugas bersamamu. Maaf ya" jawabku berbohong

Bohong lagi. Sudah jelas-jelas aku ke rumahnya kemarin. Tapi tidak mungkin aku datang ke rumahnya dalam keadaan panas seperti itu. Kurasa, memutuskan untuk langsung pulang ke rumah adalah solusi terbaik kemarin. Richard saja yang tidak mengetahuinya. Sepertinya dia tidak melihatku kemarin. Mungkin karena aku masih berdiri di depan pagar dan belum sempat memasuki rumahnya. Jadi kemungkinan besar dia tidak bisa melihatku dengan jelas.

"Oh begitu. Kemarin juga aku keluar rumah, jadi tidak ada siapa-siapa di rumahku. Aku takutnya kamu datang tetapi tidak ada yang membukakan pintu, ternyata kamu pergi juga ya" balasnya

Bohong lagi dan lagi. Semua percakapan ini berisikan dusta. Percakapan macam apa yang aku dan Richard lakukan sekarang? Ya ampun.

"Oh, tidak apa-apa kok. Maaf ya aku tidak mengabarimu kemarin" ucapku sambil berjalan pelan bersama Cindy dan Richard

"Kamu tidak perlu meminta maaf. Kan aku yang mengajakmu terlebih dahulu, jadi seharusnya aku yang meminta maaf. Maafkan aku ya, El" balasnya

"Oh tidak apa-apa kok. Tidak perlu dipikirkan. Itu bukanlah masalah besar" ucapku

"Aku jadi tidak enak kepadamu. Kalau begitu, aku masuk kelas dulu ya" ujarnya sambil masuk ke dalam kelasnya yang bersebelahan dengan kelasku

Tak terasa, kami sudah sampai di depan kelas Richard dan hampir sampai di kelasku dan Cindy. Mungkin karena keasyikan berbincang, kami jadi tidak begitu memperhatikan keadaan sekitar.

"Oh iya, kami juga mau masuk dulu ya" balasku sambil melirik Cindy yang sedari tadi hanya diam mendengarkan 'percakapan dusta' kami

Kebohongan ini bukanlah masalah besar sekarang. Masalah terbesarnya adalah ketika Richard bertengkar dengan ayahnya kemarin.

Sejujurnya, aku tidak butuh permohonan maafmu. Aku hanya butuh penjelasan tentang semua yang terjadi kemarin, Richard. Hanya itu. Dan semua penjelasan itu akan membuatku merasa lebih tenang dan lebih baik. Lebih baik sakit dengan kebenaran kan daripada bahagia dengan kebohongan? Tapi bagaimana aku bisa mengungkap kebenaran jika aku saja melakukan kebohongan? Haruskah aku berterus terang padanya? Hmm.

MelissaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang