BOOK I - Bagian 04

1.3K 133 15
                                    


Selama berhari-hari Hana tidak mendapat jawaban apapun tentang cincin maupun makhluk kadal yang dia lihat itu. Dia sudah membaca hampir semua buku tentang alam gaib dari berbagai macam kepercayaan di perpustakaan sekolah maupun perpustakaan daerah, tapi tidak ada satupun yang berkaitan dengan keanehan yang dia temukan. Ditambah tidak ada teror yang terjadi di kota ini. Jadi yang dilihatnya bukan tanda-tanda teror. Hana jadi gila sendiri.

Meski teror tidak datang ke kota ini, tapi teror mengerikan terjadi di kota lain. Bahkan sampai ada yang terbunuh satu kampung.

"Aaargh, bikin pusing saja!" gerutu Hana.

Seseorang duduk di depan dan mengagetkan Hana. Rupanya itu Ana.

"Ayooo! Kita harus kumpul sama teman-teman kelompok!" ajak Ana dengan antusias.

"Aku ngikut aja. Paling jangan lupa bawa sarung tangan dan kaos kaki yang banyak, juga pembalut buat cewek-cewek," kata Hana.

Baru saja sebulan masuk sekolah, tiba-tiba sekolah dihebohkan oleh agenda kemping. Sebenarnya sudah diberitahukan dari semester kemarin, hanya saja Hana tidak seantusias murid-murid yang lain. Dia terlalu sibuk memikirkan fenomena aneh yang baru dia temukan. Untuk saat ini, mencari tahu tentang kejadian aneh itu lebih penting daripada persiapan kemping. Ibunya sampai marah-marah karena dia tidak mau mempersiapkan perbekalan.

Sebenarnya Hana paling tidak tahu-menahu tentang apa saja yang harus dibawa saat kemping. Ini kemping perdananya. Dua tahun yang lalu dia tidak ikut karena menderita penyakit DBD dan cacar air. Karena keterbatasan pengetahuan tentang perbekalan, orangtuanyalah yang jadi sibuk. Ayahnya membawakan kayu bakar dari kebun, sementara ibunya mempersiapkan hampir segalanya. Itu baru perlengkapan pribadi, dia tidak tahu perlengkapan kelompok seperti apa.

Ana menarik Hana untuk berdiskusi dengan kelompoknya di meja depan. Selama berdiskusi, Hana hanya menyetujui apa yang mereka bicarakan. Matanya tidak bisa lepas dari bukunya sama sekali.

"Hana, kamu indigo?" tanya Dewi ketika mengamati judul buku yang dibaca Hana—Memahami Anak Indigo. Hana menurunkan buku dan membalas dengan cengiran. "Dikita bilang, minggu kemarin kamu marah-marah sama sesuatu di pagar. Kamu lihat hantu ya?"

Duh. Bagaimana Hana menjelaskannya ya? "Aku lihat sosok berekor panjang dan bermata—"

"Ih ih, please jangan obrolin itu dong! Hana, kamu jangan bilang apa-apa kalau ada hantunya. Ya? Ya?" potong Ana. Dia meremas lengan Hana dengan keras sampai Hana meringis. Ana memang takut sekali dengan hantu.

"Iya, iya. Aku diam nih," gerutu Hana.

"Nanti di hutan banyak hantu loooh," kata Dewi menakut-nakuti. Ana terlonjak dan duduk di belakang punggung Hana. "Yaelah, cuma hantu. Di luar negeri baru ngeri, satu kampung meninggal kena wabah."

"Katanya wabah itu kayak di Paris zaman dulu," komentar Ida.

"Sudah, sudah. Gak akan ada habisnya kita ngomongin itu. Kembali ke pokok bahasan!" Dewi mulai membuka buku berisi daftar perbekalan kelompok. Kemudian dia membacakan peralatan yang harus mereka bawa. Hana harus mendengus kesal karena kebagian membawa kompor dan minyak tanahnya.

Minyak tanah!? Ya ampun, bagian paling menyenangkan memang.

Minyak tanah!? Ya ampun, bagian paling menyenangkan memang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Akhirnya hari kemping pun tiba. Cuaca cerah membuat Hana gerah dan tidak betah. Meski begitu dia harus berkumpul bersama murid yang lain di sekolah pukul tiga sore. Panitia dan guru akan melakukan pengabsenan dan pengecekan barang. Setelah itu mereka berangkat bersama-sama menggunakan mobil truk dan kijang buntu ke arena perkemahan.

Hana dan keluarganya tiba di sekolah pada pukul tiga kurang seperempat. Dia masuk ke dalam barisan kelompok untuk melakukan pengabsenan. Setelah diabsen, seluruh peralatan kelompok seperti tenda, pagar, papan, tikar, tas dan lain-lain langsung diangkut ke dalam truk. Sedangkan peserta kemping beramai-ramai duduk di mobil kijang buntu sambil memamerkan bendera kelompok dan menyanyikan lagu-lagu daerah.

Sebelum pergi ke lokasi perkemahan di kaki Gunung Tangkuban Parahu, para murid berpamitan kepada para orang tua mereka.

"Daaaagh," seru mereka dengan gembira ketika kendaraan mulai berangkat ke perkemahan. Para orang tua melambaikan tangan pada putra-putrinya sambil tersenyum penuh arti.

Setiap menit para murid lalui dengan gelak tawa yang tumpah di sepanjang perjalanan. Pengendara kendaraan motor yang melintas tampak merasa sedikit terganggu dengan keributan mereka, apalagi dengan nyanyian yang tidak karuan. Namun tak sedikit juga beberapa orang yang ikut tertawa ketika mendengar salah satu murid yang tertawa terbahak-bahak dengan medok khas seberang.

Satu jam kemudian akhirnya rombongan tiba di tempat yang paling ditunggu-tunggu. Akan tetapi bukan kesan menyenangkan yang mereka dapat dari tempat ini, melainkan sedikit kengerian. Dari luar, gerbang Wisata Perkemahan Puncak yang terbuat dari besi berwarna keperakan itu menguning karena dimakan waktu. Pagar-pagar besi yang tinggi menjulang itu kelihatan tak terurus. Papan bertuliskan 'Selamat Datang di Wisata Perkemahan Puncak' itu pun sudah ditutupi tanaman rambat dan tampak usang. Hana mengira tempat tidak beda jauh dengan gerbang hotel bobrok yang berbulan-bulan tidak didatangi tamu.

"Kita gak salah tempat kan?" bisik Ana.

Hana mengangkat bahu. "Entahlah." Tapi dia merasa ada hawa aneh yang menyelubungi tempat ini, seolah-olah sesuatu yang buruk akan terjadi.

Rombongan kemping melewati gerbang dan memasuki kawasan wilayah perkemahan. Rupanya keadaan di dalamnya begitu jauh dengan di luar. Pemandangan disini tampak indah sampai rombongan dibuat terpana. Tanah subur berhektar-hektar ditumbuhi rumput hijau segar. Satu kilometer dari padang rumput terdapat danau kecil yang airnya jernih sehingga memantulkan langit biru dan gunung Tangkuban Parahu yang berdiri kokoh di kejauhan.

Di sebelah kanan dari pintu masuk terdapat masjid megah. Bangunan tempat ibadat umat muslim itu dikelilingi kolam besar ikan yang memanjang dan menurun seperti tangga. Pohon-pohon palem tumbuh di dekat kolam yang membuat tempat ini begitu sejuk dan nyaman. Sementara di sebelah kiri yang sangat dekat dengan pintu masuk terdapat kios aksesoris dan saung lesehan untuk makan maupun bersantai menikmati pemandangan. Ada juga tempat seindah ini sedangkan gerbang depannya itu bobrok sekali.

Setelah mobil truk dan kijang buntu terparkir di halaman parkir, rombongan SMP 1 Taruna harus berjalan sambil membawa barang-barang mereka ke lokasi kemping. Rupanya tempat kemping mereka cukup jauh dari gerbang masuk, tapi dekat danau yang saat ini dipenuhi pengunjung yang sedang menggoes sepeda air.

Hana agak jengkel karena sekolahnya memilih lokasi yang hampir dekat dengan hutan. Kalau tidak salah di hutan itu masih banyak hewan buasnya. Tapi beruntung tidak hanya sekolahnya yang sedang kemping, sebuah SMA dan beberapa organisasi pecinta alam juga turut berkemping disini. Ada salah satu organisasi pecinta alam yang berkemah di puncak bukit yang dipenuhi pepohonan besar yang rindang. Semoga saja mereka bisa menjaga rombongan SMP 1 Taruna dari serangan hewan buas.

Sebelum para murid membangun tenda, panitia menyuruh para peserta kemping untuk berkumpul di lapangan terbuka yang terletak di samping danau. Mereka akan melaksanakan upacara pembukaan.

 Mereka akan melaksanakan upacara pembukaan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Seri KESATRIA BINTANG (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang