Chapter 2: Lembar Kelam Baru

110 8 0
                                    

Rumahku nyaris berubah menjadi tempat sampah. Dengan kesibukan yang meningkat akhir-akhir ini, sulit sekali meluangkan waktu untuk memperhatikan tempat tinggal. Tugas-tugas kuliah semakin menggila, ditambah dengan tugas sebagai pemburu. Dengan jadwal hidup yang demikian kacau, besar kemungkinan aku tidak akan bisa bertahan seandainya masih manusia biasa.

Mumpung akhir pekan, dan kebetulan tidak ada panggilan tugas apapun, mau tidak mau aku harus merelakan waktu tidur, meski sebetulnya lelah karena semalam begadang untuk membaca dan menterjemahkan jurnal akademis. Kuikat beberapa tumpuk koran yang nyaris bisa dipakai untuk membangun dinding, lalu meletakkannya di depan pagar bersama sekantung sampah dapur untuk diangkut oleh tukang sampah nanti. Selanjutnya kuraih keranjang cucian dan memasukkan semua isinya ke dalam mesin cuci.

Sasaran berikutnya adalah lembaran kertas fotokopian jurnal. Aku memasukkannya - dengan kertas-kertas lain yang tidak akan kugunakan dalam waktu dekat - ke dalam kardus yang selama ini disimpan di kolong ranjang. Komik, majalah, dan novel yang berserakan di atas karpet ruang tamu juga sudah dikembalikan ke rak tempatnya seharusnya berada. Setelah semua terbenahi, aku menyapu dan mengepel lantai, lalu menyemprotkan pewangi ruangan ke udara. Ketika mesin cuci berhenti berdengung, kumasukkan cucian yang sudah bersih itu ke dalam keranjang dan membawanya ke atap untuk dijemur.

Semua sudah beres. Aku memandang dengan hati puas tempat sampah yang menjelma kembali menjadi rumah makhluk beradab. Saat-saat melepas lelah menjelang. Seraya mencari-cari remote televisi, aku berusaha mengingat jadwal acara TV siang itu.

Namun pandanganku terhenti pada sebuah pigura yang berdiri di samping subwoofer. Benda itu memang sudah lama bertengger di sana, nyaris terabaikan tetapi menyimpan ancaman tersendiri dalam kebisuannya, seperti bayangan gelap yang menghuni sudut hati. Seketika ada sesuatu yang seolah menghambat saluran pernapasanku saat melihatnya.

Rasa haus itu kembali datang, dan saat tidak dituruti, sensasi panas yang mencekat menderaku, dan itu terkadang bisa berlangsung selama berjam-jam. Kupejamkan mata, berusaha mengabaikan siksaan yang selama beberapa hari belakangan berusaha tidak kupedulikan dengan cara menenggelamkan diri dalam tidur. Setiap tarikan napas terasa menyakitkan, sementara tenggorokanku seolah dijejali arang membara. Monster dalam diriku meraung.

"Ingat siapa diriku. Tidak akan kubiarkan monster itu mengacau," kataku pada diri sendiri.

Aku tersengal. Api dalam tenggorokanku seolah telah mengusir udara yang kuhirup. Setelah beberapa menit yang terasa seperti setahun berlalu, upayaku mulai menunjukkan hasil. Aku lega karena kemudian raungan monster itu mereda hingga menjadi rintihan.

Selama ini aku selalu bersikap tidak peduli. Aku tidak memperhatikan sekeliling, hingga tidak menyadari ada beberapa hal yang harus disingkirkan untuk memulai bab baru dalam hidupku. Bab baru itu mestinya dimulai beberapa bulan lalu, namun sayangngnya aku terlalu skeptis untuk percaya pada apa yang dikatakan sebagai kebahagiaan. Kehidupan bukanlah dongeng yang selalu berakhir bahagia, kenyataan akan selalu mengecewakan.

Akan kusingkirkan pigura sialan itu dari sana. Tidak akan kubiarkan berdiam di situ dan menghantuiku. Bukan karena aku cukup optimis untuk menyingkirkan rasa skeptis itu, berusaha percaya kelak aku mungkin bisa bahagia dengan memulai lembaran baru ini - sayangnya, selama ini Dewi Fortuna menolak berada di pihakku - kebahagiaan bukanlah satu hal yang ditakdirkan untukku. Aku semata tidak ingin sepenggal bukti dari masa lalu itu menjadi katalis yang menarik keluar monster yang sedang kuperangi.

Kuraih pigura itu. Orang-orang dengan jas berwarna biru tua dalam foto itu tersenyum membalas tatapanku. Namun bukan mereka yang mengulik luka lama. Di deretan depan, ada seorang pemuda dengan rambut emo yang memakai wajahku, di sampingnya seorang gadis berambut panjang dengan pipi yang tembam sedang melingkarkan lengannya dan menyandarkan kepala di pundak si pemuda emo.

Shattered MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang