Chapter 10: Rasa Bersalah

28 2 0
                                    


Sesampainya di depan rumah, aku melihat BMW hitam milik Pak Wira diparkir di jalan di depan rumah. Aku membawa motor Dara masuk ke garasi dan memarkirnya di ruang yang tersisa di samping mobilku.

Pintu depan terbuka, terdengar tawa Pak Wira dari dalam rumah. Setelah mengucap salam. Pak Wira dan Lintang menjawab salam kami. Aku dan Dara masuk, menyeberangi ruangan dan bergantian mencium tangan Pak Wira.

"Maaf Bapak harus menunggu lama," ujarku.

"Oom Wira tumben mengunjungi kami. Apa ada yang penting?" tanya Dara antusias.

Aku dan Dara duduk di karpet, berhadapan dengan Pak Wira yang duduk di satu-satunya sofa di rumah ini. Lintang datang dari dapur membawa dua cangkir teh untukku dan Dara, lalu mengikuti isyarat Pak Wira yang menyuruhnya duduk di sampingnya.

"Memang ada tugas untuk kalian. Kali ini aku sendiri yang mengantar surat perintahnya selagi aku punya waktu luang, agar aku juga bisa menemui anak-anakku disini," ujar Pak Wira sambil tersenyum.

Pak Wira menoleh memandangku. Lalu dia tersenyum jahil. Aku sudah bisa menebak kalau dia akan menggodaku. "Ah, Chandra, ekspresimu jangan sedatar itu. Kau juga jangan memanggilku pak, ini kan bukan di kantor organisasi. Panggil saja oom seperti Dara dan adikmu. Iya kan, Lintang?"

Lintang mengangguk setuju. "Kakak kolot sekali."

Dara juga mengangguk pada Lintang "Tepat sekali!" Lalu Dara beralih memandangku dan menyeringai. "Iya, jangan terlalu kaku begitu," komentarnya seraya meraih sepotong brownies yang dihidangkan Lintang. Aku berharap dia sudah lupa dengan kejadian tadi.

Lintang terkikik.

"Saya tidak bisa memanggil Bapak seperti itu, Guru," sahutku dengan menekankan kata terakhir..

Pak Wira adalah pemburu senior yang sangat dihormati di organisasi sekaligus sahabat terdekat ayah. Beliau selalu baik pada keluargaku, bahkan ibu yang tidak terlalu menyukai teman-teman ayah bisa menerima Pak Wira. Sejak bertugas di kota lain, dan karena kesibukannya sebagai dosen yang mengajar jurusan Sastra Inggris di salah satu universitas negeri di sana, kami jarang bertemu dengan beliau.

Galih menyebut Pak Wira oom-oom setengah vampir. Sebenarnya tidak tepat dikatakan demikian. Meski bisa dibilang sebagai setengah vampir, Pak Wira bukanlah halfblood. Orangtua beliau adalah pemburu yang juga sangat dihormati organisasi. Ibu dari ayah Pak Wira adalah scion. Meski tidak memiliki sifat haus darah vampir, tapi beliau mewarisi umur panjang. Ayah pernah mengatakan bahwa Pak Wira juga merupakan sahabat kakek. Dari foto berwarna sepia yang pernah ditunjukkan ayah padaku, aku mengetahui bahwa sosoknya yang berdiri di samping kakekku yang masih muda – keduanya tampak masih berumur sekitar tiga puluh atau dua puluh sembilan tahun – tidak terlalu berbeda dari sosoknya sekarang, hanya saja kini beliau tampak sedikit lebih tua dengan beberapa kerutan kecil di wajahnya muncul saat beliau tertawa.

"Aaaah... Kau tidak perlu sekaku itu," desah Dara. "Santai saja. Kau tidak sekaku itu waktu bermesraan dengan Sarah."

Aku mendelik pada Dara. Suasana langsng hening. Kesunyian yang terasa dingin.

Dara menutup mulutnya. "Ups," bisiknya. Raut wajahnya tampak merasa bersalah.

"Kakak bermesraan dengan Mbak Sarah?" seru Lintang, ekspresinya menuduh.

"Astaga," desahku sambil menopang kepalaku dengan tangan. Hari ini jadi begitu kacau gara-gara cewek.

"Kakak tega sekali. Padahal tadi Mbak Mentari tadi mampir kemari dan menunggumu. Tidak tahunya Kakak malah kencan dengan Mbak Sarah," tuduh Lintang.

Shattered MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang