Chapter 7: Kenangan Janji Masa Lalu

41 2 0
                                    

Aku terlelap dengan cepat. Sama sekali tanpa mimpi. Dengan ketidakhadiran mimpi, tidurku jadi terasa begitu singkat.

Ada keanehan yang kurasakan sejak kesadaran menyusup kembali dalam tidurku – gangguan yang tidak lagi dapat kuabaikan – entah mengapa menarik napas terasa berat. Selain itu, suara bising dan hawa keberadaan asing dari luar dinding sangat mengganggu.

Ada suara musik dari luar kamar. Suara musik hip hop yang berdentum-dentum memenuhi ruangan. Kupakasakan mataku untuk membuka. Saat hendak bangkit, aku mendapati sesosok bola bulu kelabu di perutku. Kusentuh bola bulu itu. Benda itu bergerak, menunjukkan wajah kucing dan mengeong pelan. Aku mendesah melihat tirai yang berkibar tertiup angin dari jendela yang terbuka. Bobo, kucing jantan anggora gemuk milik tetangga memang sering kemari, pastilah kali ini dia masuk melalui jendela itu.

Kucing itu berpindah dan meregangkan tubuhnya diatas kasur. Aku bangkit. Tanganku meraba Batara Agni dari bawah kolong ranjang. Tapi aku hanya meraba lantai keramik. Aku mendengus. Lintang pasti memindahkan pedangku ke dalam lemari pakaian, karena dia selalu berpendapat benda itu tidak baik bila diletakkan sembarangan.

Musik sudah berhenti. Namun hanya sejenak. Terlalu jauh untuk mengambil pedangku dari lemari. Selain itu, lemari itu akan berderak saat aku membukanya. Makhluk penyusup itu keburu kabur.

Karena tidak melihat adanya pilihan lain, aku terpaksa harus menggunakan Anubis, yang dulu adalah milik ayahku. Kubuka laci di samping ranjang pelan-pelan dan mengeluarkan pistol berwarna hitam mengkilat. Dari beratnya aku yakin masih ada peluru di dalamnya.

Aku melangkah perlahan dengan pistol tergenggam dengan mantap. Kutarik slide pistol pelan-pelan. Aku berhenti di balik pintu untuk mengatur napas. Setelah merasa siap, kuputar kenop pintu dan menariknya hingga terbuka. Dengan gerakan cepat kuacungkan Anubis ke arah sosok yang sedang duduk santai di sofa.

Sosok itu menjerit. Jariku yang hendak menarik pelatuk membeku saat menyadari jeritannya yang familiar. Dalam ruangan yang nyaris gelap karena seluruh jendela tertutup tirai, yang terlihat hanya bayangan seseorang yang mengangkat tanganya. Sosok itu tidak terlihat jelas dalam ruangan yang hanya diterangi cahaya dari monitor komputer.

Tanganku yang bebas menekan tombol lampu. Lampu neon di ruangan itu menyala, memperlihatkan wajah Galih yang memucat.

"Apaan sih?" tuntut Galih. "Aku kaget sekali."

Aku mendesah lega. Untung saja aku belum menembaknya. Aku bersandar ke dinding, lunglai.

"Apa yang kaulakukan disini? Nyaris saja," tuntutku jengkel. "Tidak sopan kalau kau menyusup ke rumah orang diam-diam."

"Aku mengetuk pintu beberapa kali. Tapi tidak ada jawaban. Kulihat jendelamu terbuka. Jadi aku masuk lewat sana." Galih melambaikan tangannya. "Aku bosan harus menunggu di kampus untuk pelajaran selanjutnya. Aku lupa membawa uang, dan kelaparan. Kupikir aku bisa dapat sedikit makanan disini. Kulihat kau tidur. Aku tak mau mengganggumu, jadi kucari sendiri." Galih nyengir dan mengerling pada piring yang berisi muffin cokelat. "Enak. Buatanmu?"

"Adikku," jawabku singkat.

Kukeluarkan magasin dari Anubis, dan mengeluarkan peluru perak dari dalamnya.

"Aku tak tahu kau punya pistol." Sorot matanya menunjukkan ketertarikan.

Aku hanya mengangkat bahu. Kumasukkan kembali magasin yang telah kosong ke dalam pistol. Lalu kumasukan Anubis beserta beberapa butir peluru ke dalam laci di bawah televisi.

"Ini milik almarhum ayahku," kataku datar.

Galih mengangguk sambil mengunyah muffin. "Sepertinya kamu tidak pernah menggunakannya."

Shattered MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang