Entah sudah berapa lama waktu berlalu. Tidak ada penanda apapun agar aku bisa mengetahui waktu. Tempat ini dingin, lembab, dan dikelilingi dinding batu yang rapat. Satu-satunya cahaya di ruangan ini berasal dari bohlam redup di koridor, di luar jeruji.
Beberapa kali mereka memberiku kapsul darah. Dan setiap kali setelah itu mereka menunggu beberapa saat, mengawasiku di luar jeruji. Namun usaha mereka sia-sia. Rasa nyeri dan panas itu terus datang lagi. Bertahan di dalam diriku. Hingga tampaknya mereka juga menyerah, sama sepertiku.
Semakin lama, aku semakin terbiasa dengan rasa nyeri dan panas itu. Entah apa itu artinya aku berhasil mengabaikannya atau mampu menerimanya sebagai sesuatu yang melekat padaku sejak membuka mataku di tempat ini. Meski beberapa kali dihantui keputusasaan karena menunggu siksa ini berakhir, tapi pada akhirnya aku merasa terlalu lelah dan tidak peduli lagi pada apa yang mungkin terjadi selanjutnya.
Aku duduk dengan lunglai di lantai semen. Rantai baja – yang terhubung dengan borgol yang melingkar di kedua tanganku – terbentang di lantai dan ujung masing-masing rantai itu tertancap dengan kuat ke dinding. Rantai itu lumayan panjang – memungkinkanku untuk bergerak beberapa langkah dari dinding – namun tidak cukup panjang untuk membuatku mendekati jeruji yang jauhnya lima meter. Itu tidak masalah, aku toh tidak berniat kabur.
Kudengar gema langkah kaki yang mendekat. Ternyata ada juga orang yang belum menyerah untuk memberiku kapsul darah. Namun aku sudah tak punya tenaga untuk peduli. Persetan dengan apa yang mau mereka lakukan.
"Halo, Chandra," ucap seseorang dengan suara penuh wibawa yang sangat kukenal.
Saat aku menengadah, aku melihat Pak Wira berdiri di seberang ruangan.
"Apa kabar?" tanyanya dengan ramah.
Bukankah tanpa menjawabnya beliau sudah tahu, batinku.
"Untuk apa Bapak kemari?" tanyaku parau.
"Aku datang untukmu, tentu saja," sahutnya, keramahannya sama sekali tak berkurang meski aku menyambutnya dengan dingin.
"Ah, iya benar. Kita punya kesepakatan kan," kataku, merasa sedikit senang karena beliau tidak melupakan janjinya.
"Iya. Kita punya kesepakatan. Tapi kuharap tidak harus melakukannya. Aku kemari untuk menengok anak asuhku dan memberinya dukungan," kata Pak Wira lembut.
"Kalau begitu Bapak mungkin akan kecewa," tukasku.
"Aku tidak akan kecewa, kalau kau mau membuka hatimu lagi." Pak Wira mendekat ke jeruji. "Dengar, kau sudah bertahan hingga sejauh ini. Tidak adakah sedikit saja rasa optimis dalam dirimu untuk terus menjalani hidup. Kurasa, gadis raven itu juga pasti mau memberikan apa yang kaubutuhkan," kata Pak Wira dengan sedikit nada memohon.
"Bapak tahu saya tidak bisa melakukannya," kataku ngotot.
"Bukannya tidak bisa. Kau tidak mau, iya kan," timpal Pak Wira.
"Saya sudah tak punya hak apapun atas dirinya," sahutku. "Lagipula perasaan saya padanya tidak ada sangkut pautnya dengan darah."
Pak Wira mendesah. "Aku sangat mengenalmu untuk menduga kau tidak akan mudah mengubah keputusanmu," gumamnya.
"Lantas untuk apa Bapak menawarkan solusi itu pada saya? Padahal Bapak tahu saya akan menolak," tanyaku.
"Aku tidak akan berhenti membujukmu selagi masih ada kesempatan," kata Pak Wira.
"Begitu ya," sahutku sinis, teringat Galih yang tidak akan berhenti untuk berharap.
"Aku hanya tidak menduga akan secepat ini," kata Pak Wira lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shattered Moon
VampiroSeorang pemuda pemburu vampir. Seorang gadis halfblood yang menawan. Dan seorang gadis manusia yang tulus. Kegelapan mengikis nurani. Menenggelamkan harapan. Prasangka dan keputusasaan terjalin menjadi satu. Akankah masa lalu diabaikan? Sementara da...