Chapter 21: Jatuh

24 0 0
                                    

Hari ini aku berziarah ke makam ayahku. Menurut orang-orang yang masih berpedoman pada tradisi, hari jumat ini baik untuk berziarah.

Siang itu cukup cerah. Matahari siang bolong menyilaukan, membuatku nyaris tidak bisa membuka mata saat aku melangkah keluar dari mobil. Mungkin karena akhir-akhir ini aku terlalu terlena dengan cuaca mendung, sehingga saat matahari bersinar seperti sekarang malah membuatku tidak nyaman. Namun pemikiran itu terusik oleh satu pemikiran lain yang membuatku resah, mungkin itu gara-gara si monster. Kuusir pemikiran itu jauh-jauh dan terus melangkah. Aku menarik tudung jaketku menutupi kepala, dan bersyukur tudung itu lumayan lebar untuk menghalau sinar matahari yang membutakan mata.

Aku berhenti sejenak di sebuah gerai yang terletak di pinggir kompleks makam itu. Penjual bunga di gerai itu sudah tua. Tubuh wanita itu bersandar lemas di kursi di belakang mejanya, sesekali matanya terpejam dan sesekali membuka dengan berat. Sepoi angin yang bertiup pastilah membuatnya mengantuk. Wanita itu membuka matanya dan membenahi posisi tubuhnya saat aku mendekat.

Kulihat dagangannya masih banyak, padahal sudah sesiang ini. Kuserahkan selembar uang sepuluh ribuan padanya.

"Berapa banyak, Nak?" wanita itu bertanya berapa rupiah dari uang itu yang akan kubelanjakan untuk dagangannya.

"Semuanya," jawabku.

Wajah wanita tua itu seketika berseri-seri. "Tampaknya banyak sekali makam yang ingin kau kunjungi, Nak," katanya sambil dengan cekatan memasukkan bunga mawar dan kenanga ke dalam kantong plastik.

Aku hanya tersenyum sebagai jawabannya.

Setelah menerima kantong plastik yang penuh dengan bunga, aku mengangguk dan pergi. Dengan langkah yang agak cepat, untuk menghindari sinar matahari, aku memasuki area pemakaman yang lebih teduh. Di tempat itu banyak berdiri pohon kamboja, dan beberapa pohon beringin yang lumayan besar – entah sudah berapa abad usianya. Aku menghitung dan menyusuri deretan makam – yang sudah kuhafal dengan cukup baik – dan sampai dengan mudah ke makam ayahku.

Makam itu bersih, tidak ada rumput liar yang tumbuh di sekitarnya. Ada taburan bunga di tanah makam ayahku. Pasti ibu, pikirku.

Saat aku hendak menaburkan bunga yang kubawa, ponselku berdering. Telepon dari Galih. Dia lagi, pikirku sebal. Akhir-akhir ini dia jadi seperti pengasuhku saja, sok jadi pengawas. Kubiarkan saja ponsel itu meraung-raung, menunggunya terdiam. Tapi dering ponsel itu tidak juga berhenti. Kalau ditolak, dia akan berusaha menghubungiku lagi hingga aku menerima teleponnya. Dering ponsel itu jadi terdengar lebih keras dari biasanya saat berada di kesunyian makam. Deringnya membuatku gila.

Beberapa orang yang sedang berziarah menoleh kearahku. Meskipun raut wajah mereka tidak menunjukkan kalau mereka menegur, aku tahu dering ponselku pastilah mengganggu. Aku tidak tahan lagi. Dengan jengkel, kukeluarkan ponselku dan menerima teleponnya.

"Kau dimana?" tanya Galih sebelum aku sempat mengucapkan halo.

"Bisa tidak sih kau berhenti menguntitku?" tanyaku jengkel.

"Tidak, sayang sekali, bro," jawab Galih.

Aku mendecakkan lidah, nyaris putus asa daripada jengkel.

"Jadi kau ada dimana? Dara dari tadi juga mengirim sms padaku, menanyakanmu. Dia bilang kau tidak membalas sms-nya."

"Aku ke makam ayahku," jawabku.

"Oh," kata Galih. Lalu dia menutup telepon begitu saja.

"Sialan," umpatku.

Shattered MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang