Chapter 8: Jarak dan Batas

33 2 0
                                    


Ternyata dosen tidak datang. Dengan adanya jam kosong ini semua anak bisa berbuat sekehendak mereka. Beberapa anak memutuskan untuk pulang. Sisanya yang lain mengobrol di dalam kelas.

Sia-sia saja aku datang, pikirku penuh sesal. Tahu begini tadi aku bisa tiduran di rumah.

Aku berniat untuk pulang, tapi pemandangan sore hari yang bisa dilihat dari lantai tujuh sayang untuk dilewatkan – membuatku mengurungkan niat.

Dari ruang kelas ini, aku bisa melihat pemandangan yang bagus. Jendela yang menghadap ke barat menampilkan pegunungan di sisi barat kota dengan latar belakang langit sore. Di bawah pegunungan yang berwarna kelabu – yang sering disebut Pegunungan Putri Tidur oleh orang-orang, karena bentuknya yang agak mirip postur seorang gadis yang merebahkan tubuhnya jika dilihat dari samping – ada pemukiman dan berbagai bangunan kota yang tampak kecil seperti sebuah diorama.

Dari semua itu, yang paling menakjubkan adalah langitnya. Langit yang berwarna pucat, dengan dihiasi mega yang tampak lebih merah dari biasanya. Langit seolah terbakar.

Ada gerakan yang tertangkap dari sudut mataku. Aku menoleh sedikit. Kirana sedang memandangku. Hatiku langsung mencelos.

Dulu dia sering mengamati langit bersamaku. Sekarang hal itu tidak akan berlanjut.

Kupejamkan mataku sejenak untuk mengusir pikiran bodoh. Tidak akan ada yang berubah, batinku berkata, hanya ingin sekedar mengingatkan diri. Aku tetap menyukai langit meski tanpa Kirana.

Kirana bangkit dari bangkunya. Lalu dia mulai berjalan ke arahku. Jantungku mulai berdetak tidak terkendali. Apa maunya? Apa yang harus kulakukan? Kalau dia mendekat, si monster akan terbangun.

Aku berpikir untuk pergi dari kelas tepat saat ponselku bergetar. Nama dan foto Mentari tampak di layar ponsel. Tanpa berpikir panjang, kupencet tombol penerima.

"Hmm?"

"Sayang?" sahut sebuah suara yang sudah familiar. Kedengarannya sangat antusias.

Kirana membeku di tengah jalan. Ekspresinya tampak kecewa. Lalu dia berbalik, keluar dari kelas.

"Ada apa?"

"Kok ada apa?"

"Iya. Kenapa kamu menelepon?"

"Kok reaksimu begitu? Aku kan pacarmu. Aku tidak perlu alasan apa pun untuk meneleponmu, kan. Apa yang kamu lakukan saat ini?"

"Di kelas. Tapi sedang jam kosong."

"Uuuh... Hambar sekali sikapmu!" cetus Mentari, kedengaran jengkel. "Aku kangen padamu."

"Hmm..."

"Kamu tidak kangen padaku?" tanya Mentari manja.

"Hmm... Entahlah."

Mentari mengerang. "Jahat sekali! Pasti disana kau sedang bersama cewek itu, kan. Karena ada dia, kau bahkan tidak mau mengucapkan kangen padaku!" sembur Mentari berang.

Aku tahu benar siapa yang disebutnya dengan 'cewek itu'.

"Kenapa kau selalu menuduhku? Kau tidak punya bukti menuduhku demikian," kataku, tersulut.

"Aku tak perlu bukti!"

"Cih!"

"Intuisi wanitaku mengatakan kau sedang bersamanya!"

Aku terperangah. Intuisi wanita katanya? Yang benar saja. Kirana memang tadi disini, tapi sudah pergi.

"Tidak," sanggahku, setidaknya saat aku mengucapkannya aku tidak berbohong.

Shattered MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang