Chapter 5: Malam Perburuan

49 4 0
                                    


Sesuai dengan dugaanku, ini sudah lebih dari setengah jam, tapi Dara belum juga menampakkan batang hidungnya. Aku menunggunya di pos satpam yang ada di depan mall. Pak Santoso, itu nama yang tertulis pada name tag di seragamnya, sepertinya sudah mengetahui adanya pihak-pihak yang memburu monster-monster yang berkeliaran di malam hari. Satpam paruh baya yang sedang berjaga itu menawariku secangkir kopi dan rokok, tapi aku menolaknya. Akhirnya dia sendiri yang asyik menghisap rokok itu sambil menceritakan kegiatan-kegiatannya, sementara mataku terpaku pada layar televisi yang menampilkan film dengan adegan baku tembak di sebuah bank.

Lintang, adik perempuanku yang masih duduk di bangku SMK kelas sebelas, sore ini mengunjungiku. Dia akan menginap, besok sekolahnya masuk siang lantaran murid kelas dua belas akan menjalani try out. Oleh karena itu, aku berharap misi ini cepat selesai. Aku tidak ingin meninggalkannya sendirian terlalu lama.

Bisa dibilang bahwa Lintang adalah satu-satunya keluargaku yang memutuskan untuk masih peduli padaku, mengingat nenek dari pihak ibu yang sangat menyayangiku telah wafat empat tahun lalu dan ibu telah enggan mendekatiku, terutama sejak aku tidak lagi menjadi manusia.

Lintang berkata bahwa ibu masih peduli. Tapi melihat kenyataannya, ibu sepertinya enggan bertemu denganku, kurasa Lintang hanya tidak ingin membuatku bersedih. Tapi kenyataan ini tidak terlalu menggangguku sekarang. Setidaknya aku tidak sesedih dulu saat menyadari bahwa ibuku sendiri tidak mampu menerima keadaanku. Kini aku bisa memakluminya, karena manusia seringkali takut pada apa yang tidak mereka pahami.

Aku memainkan gagang Batara Agni, pedangku, memutar-mutarnya dengan jari. Ini sudah nyaris satu jam. Aku sudah sangat bosan hingga sedikit mengantuk. Akan kuberi waktu tiga puluh menit lagi, pikirku. Saat aku memikirkan kembali toleransi keterlambatan yang kuberikan pada Dara aku jadi agak kaget sendiri, mengingat dulu aku akan meninggalkannya saat dia terlambat sepuluh menit.

"Temanmu belum juga datang, Nak?"

Aku tersentak dan menyadari tadi aku sudah setengah tertidur. Aku mengangguk pelan.

"Dari dulu aku heran mengapa mereka tidak mempekerjakan orang yang lebih dewasa. Bocah sepertimu mestinya diam di rumah saja dan mengerjakan PR," gerutu Pak Santoso.

Istilah 'bocah' dalam kata-katanya membuatku sedikit tersinggung. Aku berdeham. "Umur saya dua puluh satu tahun, Pak," koreksiku.

Pak Santoso tertawa keras. Kemudian dia tersedak karena asap rokok yang masih mengepul di mulutnya. "Masa? Sepertinya tidak," cibirnya.

Orang ini tidak mempercayai ucapanku, pikirku jengkel. Aku memilih untuk tidak menggubrisnya. "Sejak kapan Bapak tahu tentang ini? Ehm, maksud saya tentang orang-orang pekerjaannya membunuh monster?" tanyaku mengalihkan perhatian.

Pak Santoso menjentikkan ujung rokoknya di asbak untuk merontokkan abunya. Kemudian dia mengisapnya dua kali sambil berpikir, atau barangkali mengingat-ingat. "Sudah cukup lama aku tahu. Lagipula orang-orang seperti kalian kadang menitipkan motor atau mobilnya disini saat mereka pergi mencari setan bertaring itu."

Dia berhenti untuk menghisap rokoknya yang sudah pendek sebelum menekan puntung rokok itu di asbak.

"Waktu itu aku masih muda, walau tidak semuda dirimu. Saat aku berjalan pulang setelah giliran jaga siang. Aku berjalan melewati sawah, saat itu sudah rembang petang. Kemudian saat aku melewati jembatan tiba-tiba ada yang melompat turun dari atas pohon beringin dan menghadangku. Gadis itu masih remaja. Dia tampak pucat dan rambutnya berantakan. Dia merintih. Kupikir dia pasti korban perampokan atau semacamnya. Kudekati dia. Kutanyakan apa yang terjadi. Tapi dia menggeram, di sudut bibirnya tampak taring yang panjang, dan matanya merah."

Shattered MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang