Disinilah aku berdiri sekarang. Berada di ambang batas kesadaranku. Sekali lagi aku berdiri di bukit ini, tapi ini untuk yang terakhir kali. Vila tempat segalanya bermula itu masih sama kokohnya, dan masih sama suram. Bukit ini pun juga masih sama hijau. Rerumputannya basah, ribuan butir embun tersebar diatasnya seolah ada seseorang telah menumpahkan ribuan berlian.
Rantai di tanganku bergemerincing riang, suara berisik yang kontras sekali di kesunyian pagi itu. Aku menurut saja saat dua orang pemburu membimbingku melintasi rerumputan di bukit itu. Sementara matahari masih malu-malu, enggan menunjukkan keseluruhan dirinya, dan menyembunyikan separuh tubuhnya yang bersinar jingga di balik pegunungan.
Kedua pemburu itu berhenti melangkah. Aku juga berhenti. Pak Wira berdiri tidak jauh di depanku. Pria ini ada disana untuk menggenapi janjinya padaku. Raut wajahnya seperti orang yang baru saja tertimpa musibah, tampak terguncang. Namun saat melihatku, dia mendesah, ekspresinya berubah menjadi lebih tegas dan tegar. Topeng profesional yang mati-matian dipertahankannya. Dia membetulkan sikap tubuhnya dan berdiri lebih tegak. Anubis tergenggam di tangan kanannya.
Galih juga berada disini, berdiri agak jauh, diawasi oleh beberapa pemburu. Bagaimanapun aku tidak bisa mengusirnya dari sini. Dia berhasil meyakinkan para pemburu disini bahwa keberadaannya sangat berguna, meskipun orang-orang kolot itu jelas belum sepenuhnya mempercayainya. Padahal aku tidak ingin dia melihat semua ini. Aku akan menambahkan luka di hatinya, tapi setidaknya akan lebih baik bila dia tidak melihatnya. Namun dia tetap bersikeras untuk berada di sini. Tidak akan ada kata-kata yang cukup untuk berterimakasih atas kesediaannya menanggung ini semua.
Pak Wira memandangku untuk beberapa saat, tampak menimbang-nimbang, seolah sedang mempertimbangkan akan melakukan tugasnya atau tidak. Lalu dia mendesah lagi, tangannya sibuk mempersiapkan Anubis. Sekilas kulihat topeng profesionalnya retak, namun dengan cepat dia mampu membenahi kembali ekspresinya.
Aku menarik napas dan memejamkan mataku. Galih benar-benar memiliki bakat yang berguna, meskipun kemampuannya ini tidak pernah disyukurinya. Namun berkat kemampuannya, aku bisa melalui tahap ini dengan baik dan tanpa melukai siapapun. Walaupun monster itu telah memangsa sembilan puluh persen dari diriku, asalkan Galih tidak kehilangan konsentrasinya, semua akan baik-baik saja.
Namun mendadak ada suara teriakan yang melengking, merobek atmosfir serius yang menguasai tempat ini.
"Chandra! Kumohon jangan lakukan ini. Aku akan melakukan apapun untukmu," teriak suara itu.
Seandainya aku bisa menggerakkan tubuhku dengan bebas, tentu aku sudah menoleh kaget. Alih-alih aku yang melakukannya, dua pemburu di sampingku menoleh dengan terkejut ke arah sumber suara. Dari sudut mata, aku bisa melihat sosok Kirana yang terengah-engah habis berlari. Satu sosok lagi muncul di belakangnya. Mentari.
Apa yang mereka lakukan disini? Bagaimana mereka tahu?
Pasti Dhika yang memberitahu Mentari. Lalu Mentari pasti mengatakannya pada Kirana. Ternyata Mentari memang bersedia melakukan apa saja, termasuk menemui gadis yang tidak disukainya.
Ada keributan kecil. Beberapa pemburu bergerak untuk mencegah keduanya mendekat. Jeritan-jeritan. Seorang pemburu berhasil menangkap Mentari dan menahannya dengan cukup mudah – meski gadis itu meronta dan berteriak-teriak – karena berlari menaiki bukit pasti telah menguras tenaganya. Sementara itu mereka lebih kesulitan menangkap Kirana. Tentu seorang raven pasti punya kemampuan lebih. Kirana berkelit dengan gesit. Sebelum mereka sempat menyadarinya, Kirana sudah melintasi rerumputan, bergerak cepat ke arahku.
Mendadak, pengaruh kekuatan Galih hilang. Aku mengerang keras saat siksaan itu kembali menderaku. Dua pemburu di sampingku, melonjak terkejut dan tanpa sengaja melepaskan pegangannya padaku. Kirana nyaris mencapaiku saat Galih bergegas menyambar pinggangnya dan menariknya mundur ke belakang Pak Wira. Sementara aku jatuh berlutut ke tanah, geraman yang dalam keluar dari tenggorokanku. Aku berusaha bertahan dengan sisa-sisa kesadaranku.
Aku sudah lama membayangkan akhir seperti ini – menghadapi guruku sendiri, pasrah pada sebutir peluru perak yang akan mengakhiri segalanya, sendirian – tanpa keluarga. Namun aku merasa cukup lega, karena aku telah memohon ampun pada wanita yang telah melahirkanku, bagaimanapun pendapatnya tentang diriku.
Mestinya aku bisa melepaskan segalanya dengan mudah, karena aku sudah melakukan apa yang seharusnya kulakukan. Mestinya sudah tidak ada lagi perasaan yang mengganjal. Inilah batas waktuku. Namun melihat mereka hadir disini, berurai air mata, membuatku gamang. Terutama satu gadis itu yang masih memiliki cintaku seutuhnya.
Tak bisa kucegah rasa sesal yang memancar keluar dari sisa bongkahan hatiku yang telah mengeras. Menggenang. Bercampur dengan kekecewaan dan berbagai emosi. Meluap tanpa bisa dibendung. Genangan dari perasaan yang selama ini telah meracuni jiwaku.
Aku ingin berteriak, "Hentikan tatapan memohon itu!" Namun lidahku begitu kelu. Monster itu nyaris menguasaiku sepenuhnya. Hanya geraman hewan buas yang keluar dari mulutku selagi kesadaranku timbul dan tenggelam.
Dengan segenap sisa kesadaran, kupaksakan diriku untuk berdiri. Menghadap pada Pak Wira yang kini tampaknya sudah tidak ingin repot-repot memasang wajah tegar.
Kulihat mulut Pak Wira yang bergerak-gerak, menggumamkan sesuatu yang seperti doa. Lalu dengan gerakan mantap lengannya terangkat. Anubis terarah tepat padaku. Lalu terdengar suara ledakan, disusul oleh suara teriakan yang nyaring. Kurang dari sedetik, peluru itu menghantam tubuhku. Rasa nyeri yang tumbuh di dada kiriku – yang sempat membuatku kaget – sesaat mengalahkan siksaan monster itu.
Kirana dan Mentari menjerit keras. Kirana menendang tulang kering Galih dan menyentakkan tangan pemuda itu dengan keras sehingga dia bebas. Sebelum aku jatuh ke tanah, Kirana menyongsong dan menopang tubuhku.
Kutatap wajahnya yang basah oleh airmata. Sayang sekali, justru wajahnya yang seperti ini yang harus kusaksikan sebelum hidupku berakhir.
"Chandra. Kumohon jangan tinggalkan aku," tangisnya.
Aku tidak mampu untuk menyahut selagi aku terengah dan tersedak darahku sendiri. Mentari dan Galih masuk dalam batas penglihatanku.
"Ya Tuhan, apa yang harus kita lakukan?" tangis Mentari sambil menekankan tangannya ke lukaku, berusaha menghentikan darah yang mengalir keluar.
Galih terdiam dengan wajah menderita.
Kirana mengangkat tangannya, hendak menggigit pergelangan tangannya. Tangan Kirana bergetar hebat selagi dia menangis sesenggukan. Tenagaku nyaris habis, namun aku masih punya sisa sedikit untuk mengangkat tanganku dan mencegahnya mengoyak pergelangannya sendiri. Cukup sampai disini saja luka yang kutimbulkan. Kusentuh wajahnya yang basah.
Kirana seolah membeku saat aku menyentuhnya. Lalu air matanya mengalir dengan deras. Digenggamnya tanganku dengan erat dan didekatkannya ke pipinya selagi dia tersedu-sedu.
Ada begitu banyak hal yang ingin kuucapkan. Aku tidak membenci Kirana. Tidak sekalipun pikiran itu terlintas di benakku. Betapa pun sakit luka yang diakibatkan hubungan kami di masa lalu, aku tetap tidak mampu membencinya.
Penyesalanku terhadap Mentari juga tidak mungkin tersampaikan. Tidak akan ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan sesalku.
Terlalu banyak hal yang sudah kupendam dalam tubuh ini. Waktu demi waktu semua kutumpuk begitu saja, mencoba mengabaikan agar tetap stabil, hingga semua itu terkubur begitu saja. Ada kalanya muatan itu mendesak keluar seperti makanan yang tidak berhasil dicerna, dan aku terus menahannya agar tidak keluar selagi aku menipu semua orang dengan sikap acuh tak acuh.
Pada akhirnya semua itu tidak akan terucapkan. Kata-kata itu akan melebur bersama tubuh ini. Karena sisa waktu yang kumiliki saat ini hanya beberapa tarikan napas yang pendek.
Kuraih tangan Mentari yang telah basah dan lengket karena berlumur darahku. Mentari menggenggam tanganku dengan lembut.
"Terimakasih," ucapku dengan susah payah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shattered Moon
VampireSeorang pemuda pemburu vampir. Seorang gadis halfblood yang menawan. Dan seorang gadis manusia yang tulus. Kegelapan mengikis nurani. Menenggelamkan harapan. Prasangka dan keputusasaan terjalin menjadi satu. Akankah masa lalu diabaikan? Sementara da...