Chapter 19: Luka Lama yang Tersayat

22 1 0
                                    

Aku menunggu hingga petugas dari organisasi datang untuk membereskan tempat kejadian perkara. Dan karena aku tidak tahu apa yang ingin kulakukan selanjutnya, aku duduk di trotoar, mataku mengamati mereka bekerja, sementara pikiranku melayang kemana-mana.

"Kenapa dia?" kudengar seorang petugas berbisik pada petugas lain.

"Kudengar aphra ini adalah temannya, dan dia yang mendapatkan tugas mengeksekusinya. Sepertinya dia terguncang," jawab petugas lainnya.

"Kasihan," sahut petugas pertama.

Yeah, aku baru saja membunuh seorang teman, batinku getir. Aku tidak mengacuhkan mereka, karena aku sendiri sibuk membenahi perasaanku yang kacau seolah baru saja diterjang badai.

Mereka bekerja dengan cepat. Ketika mereka selesai, seorang petugas yang mengawasi kegiatan itu menepuk pundakku.

"Sudah selesai. Kau tidak pulang, Nak?" tanya petugas paruh baya itu.

Pria itu menyadarkanku dari lamunan. Aku mendengar pertanyaannya, namun aku hanya bengong menatapnya.

"Kau tidak apa-apa?" tanyanya lagi, dia tampak sedikit cemas.

Aku berkedip, berusaha menjernihkan pikiranku yang sedang macet. "Saya tidak apa-apa. Saya akan pulang sekarang," kataku parau.

"Kau yakin? Mau kuantar pulang? Dimana rumahmu?" pria itu memberondongku dengan pertanyaan. Entah mengapa pertanyaannya agak sulit kumengerti. Mungkin otakku memang terlalu macet untuk berpikir.

"Saya akan pergi," kataku. Aku tahu apa yang kukatakan bukanlah jawaban yang tepat untuk pertanyaannya. Tapi hanya itu yang terpikir olehku.

Aku pergi dari tempat itu. Tidak pulang seperti yang kukatakan tadi, melainkan ngeluyur di sekitar kampus yang sepi. Aku butuh waktu untuk menjernihkan pikiranku yang terlampau keruh. Mungkin sebaiknya aku lari-lari sebentar di kota – karena aku tidak mungkin berjalan santai dengan menyandang pedang di jam yang memungkinkanku sering berpapasan dengan orang – cara ini biasanya cukup efektif untuk mengalihkan perhatian.

Kemudian aku mulai berlari. Melesat keluar dari kampus, menelusuri trotoar-trotoar yang mulai sepi. Sebentar lagi mall-mall tutup, orang-orang yang sedang malam mingguan sudah banyak yang pulang. Tapi aku tetap tidak mengurangi kecepatan lariku.

Aku berlari tanpa tujuan. Sesekali aku berhenti. Aku berhenti di tengah hutan kota, tidak ada apa-apa disana kecuali pohon-pohon yang mendesau dan beberapa makhluk yang tidak seharusnya terlihat oleh manusia. Dalam hati aku sedikit berharap bertemu seorang aphra lagi. Tapi setelah kupikir-pikir lagi, aku sedang tidak berminat untuk berburu. Aku cuma ingin lari.

Aku berlari lagi. Kemudian aku berhenti di depan gedung SMA-ku. Sepi. Jalanan di daerah ini selalu sepi. Bahkan satu markas Angkatan Darat yang berdiri tepat di depan gedung sekolah terlihat senyap. Aku memandang ke jendela-jendela lantai dua gedung sekolah, dimana ruang kelas sebelas program Ilmu Sosial berderet. Ada satu bayangan yang menatap keluar dari salah satu jendela. Bayangan seorang gadis yang bukan manusia. Dia adalah roh. Ada banyak yang seperti itu di dalam gedung sekolah.

"Rupanya tempat ini masih sama seperti dulu," gumamku.

Lalu aku kembali melanjutkan perjalananku dan berhenti di daerah dekat taman kota. Aku naik ke atas atap sebuah pertokoan dan duduk termenung di pinggirnya. Suasana sepi. Sesekali orang berjalan lewat di trotoar di bawahku. Sesekali kendaraan lewat menderu di jalan di bawah sana. Setelah itu malam kembali senyap. Cahaya bulan sudah tidak seterang semalam – tapi cukup untuk membuatku melihat arloji dan menyadari ini sudah hampir tengah malam.

Malam ini langit begitu bersih, tidak ada segumpal pun awan hitam, udara malam pun terasa dingin daripada semalam, kemungkinan besar tidak akan turun hujan. Sayang sekali, pikirku. Padahal aku sedang ingin merasakan hujan.

Shattered MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang