Mobilku melaju ke arah mall. Malam itu jalanan agak ramai, aku berusaha berkonsentrasi pada jalanan, sementara Mentari seringkali menoleh ke arahku dan memandangiku cukup lama, itu membuatku tidak nyaman. Aku cukup merasa lega saat kami sampai di tujuan dan perhatian Mentari sedikit teralihkan pada deretan aksesoris, baju, dan boneka yang dipajang di toko-toko. Namun perasaan legaku rontok saat kami berpapasan dengan Dimas dan dua teman sekelas lainnya di depan cineplex.
Aku memperkenalkan Mentari pada mereka. Dimas mengerling dan tersenyum padaku penuh arti.
"Berpesta seharian, eh?" goda Gilang sambil menyeringai padaku.
Aku tersenyum canggung. Mentari tersenyum senang mendengar komentar Gilang.
"Hmmm, sayang sekali tadi kita tidak jadi bersenang-senang ya, Chandra. Kau ini susah sekali diajak senang-senang," ujar Dani, berpura-pura kecewa.
"Kalau yang kaumaksud bersenang-senang adalah diserang dengan meriam telur dan berendam di kolam lumut, tidak, terimakasih," tukasku. "Akan lebih bermanfaat kalau kalian menjadikan telur itu omelette untuk sarapan pagi."
Mereka tertawa keras, membuat beberapa orang yang lewat menoleh.
"Aku setuju denganmu, Ndra," kata Gilang, mengangguk dan mengacungkan jempolnya. "Telurnya masih tersisa cukup banyak untuk persediaan beberapa hari."
Kemudian tiba-tiba Dimas menyeletuk. "Kami tadi bertemu Kirana dan Rangga di toko buku. Kalian tidak janjian double date kan?"
Hatiku mencelos. Tapi aku berusaha tersenyum santai. "Tidak. Kami tidak janjian," ujarku seringan mungkin. Mentari semakin merepet, menggenggam erat tanganku dan melirik cemas padaku.
"Ah, begitu ya," ujar Dimas enteng. Dia melihat arlojinya dan berkata pada Dani dan Gilang, "Kita harus menjemput yang lain sekarang, kalau tidak kita akan telat ke konser."
"Konser?" tanyaku, sejenak aku lupa ada konser musik indie.
"Yeah, konser musik indie itu.... Kau tahu kan. Kudengar mereka juga mengundang band-band yang sudah terkenal. Acaranya diselenggarakan di stadion. Kalian tidak berniat kesana?" kata Gilang.
"Oh, tidak. Kami hanya akan melihat-lihat disini saja. Kurasa Mentari tidak begitu suka," kataku.
"Oke, kami mengerti. Kalau begitu kami pergi dulu. Selamat bersenang-senang." Dimas menyeringai dan menjambret lengan Dani dan merangkul bahunya, menyeretnya ke arah elevator.
"Sampai ketemu di kampus, Ndra. Senang bertemu denganmu, Mentari," kata Gilang. Lalu dia terburu-buru mengikuti kedua temannya.
"Teman-teman yang menyenangkan," komentar Mentari.
Pandanganku menerawang ke arah teman-temanku menghilang, tapi sebenarnya mataku tidak terfokus pada apapun. Aku merasa seperti ada blackhole yang berkembang di diriku. Kekosongan itu tidak lagi terasa menenangkan seperti dulu, namun pekat oleh kegusaran dan sedikit kekecewaan. Bagaimanapun aku tetap merasa sedikit lega karena si monster tetap membisu.
"Chandra, kau tidak apa-apa?" tanya Mentari cemas. Dia mengguncang pelan lenganku dan meremas tanganku yang masih digenggamnya.
Aku mengerjap sekali, mencoba memfokuskan pikiranku lagi. "Aku tidak apa-apa. Maaf," gumamku. "Ada toko aksesoris bagus di sebelah sana, mau lihat?" kataku, berusaha menghapus kecemasan Mentari.
Aku menggiringnya ke toko aksesoris terdekat yang memang cukup sering kukunjungi dan membiarkanya menjelajahi deretan rak-rak aksesoris, selagi aku berharap dia akan melupakan kata-kata Dimas yang pasti membuatnya khawatir. Harapanku tampaknya terwujud saat Mentari tampak lebih santai beberapa saat kemudian, kelihatan sangat tertarik pada salah satu gantungan ponsel. Kulihat satu set gantungan ponsel yang dipegang Mentari berisi dua buah dengan desain yang bersesuaian dan terbuat dari bahan metal – salah satunya berbentuk hati kecil dan yang lain berbentuk anak panah, tampaknya bisa disatukan dengan memasukkan anak panah itu ke dalam lubang di pinggir bingkai tipis berbentuk hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shattered Moon
Про вампировSeorang pemuda pemburu vampir. Seorang gadis halfblood yang menawan. Dan seorang gadis manusia yang tulus. Kegelapan mengikis nurani. Menenggelamkan harapan. Prasangka dan keputusasaan terjalin menjadi satu. Akankah masa lalu diabaikan? Sementara da...