Chapter 18: Monster yang Meraih Permukaan

22 0 0
                                    

Akhirnya sunyi kembali. Aku suka kesunyian. Namun kesunyian yang kurasakan sekarang berbeda. Entah apa yang berbeda.

Aku mendesah saat menyadari sesuatu. Dua hari ini rumahku selalu ramai. Karena orang-orang tidak membiarkanku sendirian, sehingga kini suasana terasa begitu berbeda saat mereka pergi.

Jam dinding masih menunjukkan pukul lima. Meskipun daerah ini tadi pagi tertutup kabut tebal, namun sepertinya tidak hujan – terlihat dari jalanan yang kering saat berkendara pulang dari rumah ibu tadi.

Aku mengirim pesan pada Violet untuk menanyakan pukul berapa Putri akan bertemu targetku. Tidak sampai dua menit kemudian balasannya kuterima. 'Mereka akan bertemu sekitar pukul tujuh malam, itu yang kudengar'. Itu berarti aku tidak perlu buru-buru berangkat.

Teringat sebuah kado yang masih utuh di dalam lemari. Aku masuk ke kamar dan mengeluarkannya. Saat aku memandang tas kertas hitam itu dengan gamang, satu suara mengeong menginterupsi. Bobo melompat turun dari kusen jendela ke ranjang, lalu turun ke lantai. Kucing anggora gemuk itu menghampiriku.

Aku membungkuk dan duduk di lantai di sebelah si kucing.

"Halo, Bo," kataku sambil mengelus kepala Bobo.

"Ini pemberian gadis yang dulu suka main kemari. Gadis yang dulu pernah memberimu makan roti tawar, kau ingat?" kataku masih sambil mengelus tubuhnya.

Bobo mendengkur pelan. Kaki depannya menggapai-gapai tali tas itu, lalu menariknya hingga terguling. Isinya meluncur keluar, membuat Bobo mundur menghindar. Aku meraih kotak itu. Bobo mengeong, mata besarnya yang berwarna zaitun menatapku. Kotak kardus berwarna biru dengan pita putih itu terasa agak berat.

Aku membuka tutup kotak itu. Isinya adalah sepasang sepatu sneaker dan sebuah mug bergambar Optimus Prime. Bagian atas mug itu bertuliskan 'Selamat ulang tahun untuk Chandra. Semoga panjang umur dan berbahagia' – dengan huruf kecil-kecil. Dia memang selalu punya ide menarik, pikirku sambil berusaha menyingkirkan ingatan wajah muram Kirana yang membuatku merasa muak pada diri sendiri.

Bobo mengeong lagi. Aku meletakkan mug itu dalam kardusnya lagi. Bobo mengisi tempat kosong di pangkuanku. Aku mengelus punggungnya. Bobo mendengkur senang.

Mataku menerawang keluar jendela. Angin sore berhembus lembut dari jendela yang terbuka, membuat tirai berdesir. Langit sore tidak terlihat dari sini, karena terhalang bangunan rumah. Yang tampak dari sini hanyalah cabang-cabang berduri tanaman mawar berlatar belakang bangunan rumah di seberang jalan.

Kubiarkan kamarku tetap gelap. Dari cahaya suram di luar sana, aku menebak ini pasti pukul setengah enam.

Alunan musik dari ruang tengah, lagu Evening Falls dan suara mendayu-dayu Enya samar-samar terdengar, karena volumenya sengaja kukecilkan – suasana senja lebih enak dinikmati dengan kesunyian atau musik yang bertempo pelan yang tidak berisik.

Tiba-tiba saja aku merasa sangat lelah. Bukannya tidak menikmati musik. Hanya saja aku tidak bisa menghindari perasaan penat yang entah datang darimana. Aku berusaha mengabaikan perasaan itu, namun sepertinya malah semakin menjadi-jadi. Rasa lelah yang begitu pekat, hingga terasa nyaris seperti putus asa.

Berikutnya rasa panas mulai menjalar di tenggorokanku. Bobo langsung melompat dari pangkuanku sambil menjerit, punggungnya tegang dan bulunya berdiri. Kucing itu kabur, lari keluar rumah dengan melompati jendela, menyelamatkan diri dari monster yang mungkin akan menghabisi nyawanya.

Rasa panas itu terasa tidak biasa. Panas itu menular, menjalar ke seluruh tubuh. Kupikir aku pasti bakal mati kering gara-gara tubuhku menguap dari dalam.

Aku bisa melihat kuku-kukuku memanjang. Bisa kudengar degup jantungku yang bertalu-talu. Merasa panik, meski dengan pandangan yang agak kabur, aku merangkak dan menarik laci meja hingga terlepas. Kotak itu jatuh ke lantai keramik dengan bunyi yang keras. Sebuah botol plastik berisi kapsul darah menggelinding di lantai.

Shattered MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang