Chapter 20: Resolusi

25 0 0
                                    

Ini adalah minggu yang penuh kesulitan. Monster itu menghantuiku, sementara aku tidak mungkin meninggalkan kampus. Aku akan tetap datang selagi mereka masih mengijinkanku mengikuti ujian akhir semester.

Rasa haus yang membakar itu seringkali muncul saat aku berada di kampus. Pernah sekali aku harus menelan sebotol penuh kapsul agar monster itu diam. Kemarin juga, tapi beberapa saat kemudian aku malah memuntahkan kembali kapsul-kapsul yang sudah kutelan. Aku sedang berada di kelas, mengerjakan soal ujian, saat mendadak aku merasa mual. Aku merasa yakin akan memuntahkan sesuatu, jadi aku buru-buru meminta ijin keluar dan berlari ke toilet. Kirana menyusul dan menungguku di luar toilet. Saat kami bertemu, dia tampak ingin mengucapkan sesuatu, tapi aku langsung pergi begitu dia membuka mulutnya untuk bicara.

Ujianku selesai di hari keempat, dan aku cukup lega bisa melaluinya tanpa ada yang harus terluka, meskipun sulit untuk menutupi ketidakberesan ini di depan teman-temanku.

"Apa yang terjadi padamu?" tanya Putri suatu hari, dia sudah lupa sama sekali dengan peristiwa di malam minggu itu. "Mukamu pucat. Kau tampak kacau sekali?"

"Masuk angin," jawabku asal-asalan.

"Masuk angin berhari-hari? Itu tidak wajar. Jangan-jangan kau kena penyakit tertentu. Pergilah ke dokter," kata Putri.

Itu tidak perlu, pikirku.

Sementara itu, aku berkali-kali mendapati Galih, Kirana, Violet dan Eva menatapku dengan cemas.

Seorang petugas di kantor akademik – yang juga adalah orang yang bekerja untuk organisasi – menatapku curiga saat aku mengembalikan buku absen.

"Apa kau baik-baik saja, Chandra?" tanya petugas itu.

"Saya baik-baik saja, Pak?" jawabku datar.

Aku yakin petugas itu menemukan sesuatu yang tidak beres. Melihat percakapan itu, Galih cepat-cepat menyambar lenganku dan menyeretku ke pintu keluar sambil berkata keras-keras seolah dia ingin siapapun yang berada di kantor itu mendengarnya.

"Ayo, kau harus pulang! Flu-mu harus segera diobati," katanya setengah berteriak.

Aku menurut saja saat Galih menarikku keluar ruangan dan membawaku ke teras kampus yang lebih lengang. Sore itu mendung gelap menggayut di langit barat, tidak menyisakan janji untuk memberikan senja yang indah.

"Astaga, aku lupa kalau petugas akademik itu adalah orang organisasi. Bagaimana kalau dia melapor? Aduh, celaka," kata Galih gusar.

"Dia hanya melakukan pekerjaannya," sahutku muram.

Galih menoleh padaku dan menatapku tajam. Ekspresinya yang jelas-jelas menunjukkan tidak setuju denganku berubah menjadi ekspresi putus asa.

"Ya ampun," keluhnya. "Aku tidak mungkin membiarkan ini. Semestinya kau menerima....."

"Jangan sekali-kali kau menyuruhku melakukannya," potongku sambil menatapnya tajam.

Aku tahu betul saran apa yang bakal keluar dari mulutnya kalau aku tidak menghentikannya.

Galih mendesah tidak berdaya. Saat berada di tempat parkir – yang sepi – dia mulai menggerutu.

"Kau mau bunuh diri? Jadi itu sebabnya kemarin kau menemui pemburu itu dan memintanya menggantikan posisimu untuk Mentari. Kau bahkan tidak punya nyali untuk mengatakannya langsung pada Mentari," kata Galih tajam.

Aku memang menemui Dhika di kampusnya – beruntung hari itu cuaca mendung, karena akhir-akhir ini sinar matahari membuat kulitku sakit. Aku tahu perasaan Dhika pada Mentari. Aku juga tahu aku tidak akan bertahan lama – karena aku sudah kehilangan kekuatanku. Kuminta dia mengatakan perasaannya dan meyakinkan gadis itu bahwa Mentari lebih baik bersamanya daripada bersamaku.

Dhika ternganga saat aku mengatakan permintaanku. Saat dia bertanya apa alasanku, kubilang aku tidak bisa melupakan masa laluku dan itu membuatku tidak bisa mencintai Mentari seperti seharusnya. Kupikir dia akan marah. Tapi ternyata dia hanya mengangguk mengerti.

"Mentari menceritakan banyak hal padaku. Aku tahu, Steven pernah memberitahuku, untuk hal begini, perasaan vampir sangat sulit untuk berubah. Dengar-dengar butuh waktu sangat lama untuk memulai cinta yang baru," kata Dhika.

Sayangnya aku tidak akan punya waktu selama itu untuk berpaling dari masa laluku, pikirku dengan getir.

Dia bilang tidak bisa berjanji untuk memenuhi permintaanku, karena dia harus mempertimbangkan reaksi Mentari, meskipun dia sendiri menyimpan perasaan pada gadis itu. Dengan mengetahui kebaikan hatinya dan janji yang dia berikan, aku jadi semakin yakin bahwa Mentari pasti akan baik-baik saja bersama Dhika. Meskipun awalnya pasti sulit, aku yakin Mentari pasti bisa melupakanku pada akhirnya.

"Mentari tidak akan mau aku memutuskannya dengan alasan yang tidak jelas. Lagipula Dhika pasti bisa mencintainya lebih baik dibandingkan aku," kataku pada Galih.

Galih mendengus. "Itu pemikiran yang benar-benar egois! Dia mencintaimu, dan kau tidak – itu memang patut disayangkan. Tentu saja dia tidak akan mau kautinggalkan. Terutama seandainya dia tahu alasanmu – kau menyerahkannya pada pemuda itu agar kau bisa membunuh dirimu sendiri!" timpal Galih keras. Tampaknya dia tidak peduli lagi bila ada yang mendengarnya.

"Aku tidak akan bunuh diri," sergahku.

"Sama saja bagiku!," tukas Galih keras. "Kau mau menyerah, iya kan? Pernah tidak sih kau memikirkan perasaan orang di sekitarmu? Kau mungkin tidak ingin peduli lagi pada Kirana. Lalu bagaimana dengan ibumu, Lintang, oom setengah vampir itu, teman-temanmu dan Mentari?"

"Aku memikirkannya sepanjang waktu," jawabku.

"Benarkah? Lantas mengapa kau tidak mau menerima bantuan Kirana saat kondisimu semakin memburuk?" Tangan Galih mengepal oleh amarah.

"Aku tidak bisa," jawabku.

Galih melotot padaku. Tangannya yang terkepal bergetar. Kukira dia pasti akan memukulku. Namun alih-alih memukul, dia mengerang frustasi.

"Mengapa bisa ada orang pesimis yang sangat keras kepala sepertimu," erangnya.

Shattered MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang