Chapter 14: Serpihan Rembulan

26 2 0
                                    

Aku menstarter mobil. Tidak lama kemudian kami sudah meluncur di jalanan kota yang sudah mulai sepi. Aku mengarahkan mobil ke Balai Kota. Tidak butuh waktu lama untuk mencapainya di jam segini – meski agak terhambat di persimpangan jalan ke arah stadion – hanya butuh sekitar sepuluh menit. Pameran buku digelar di dekat Balai Kota. Aku memarkir mobil di pinggir jalan, dipandu tukang parkir yang bertugas di pameran.

"Akhirnya jadi kesini juga," kata Mentari agak geli. "Aku tahu kau sangat suka buku." Dia mengucapkan kalimat terakhirnya dengan nada bangga seolah dia berhasil mengetahui jawaban pertanyaan ujian yang sulit.

Aku membuka pintu mobil. Sebelum aku sempat memutar dan membukakan pintu untuk Mentari, dia sudah keluar duluan. Lalu berjalan ke sampingku. "Ayo," katanya, sepertinya dia yakin aku akan mengajaknya ke pameran.

"Kemana?" kataku pura-pura bingung sambil menahan senyum.

"Ke sana. Ke pameran?" katanya sambil menunjuk ke arah jalan masuk pameran. "Bukankah kita ada di sini untuk ke pameran?" Kini Mentari yang terlihat bingung.

"Kita tidak akan kesana. Kau bisa bosan nanti," kataku sambil menyeringai. "Bagaimana kalau nongkrong disana?" tanyaku sambil menunjuk tempat di belakang Mentari. Dia memutar tubuhnya, memandang ke arah alun-alun yang berada di tengah jalan raya di depan Balai Kota, serupa pulau di tengah danau yang membentuk jalan raya di sekitarnya jadi jalur berbentuk lingkaran.

Senyum mengembang di wajah Mentari. "Bagusnya. Aku belum pernah kesana di malam hari. Dulu cuma pernah olahraga pagi ke sana. Pasti lebih seru kalau mendatanginya di malam hari," kata Mentari kagum.

Aku menggamit tangan Mentari dan menariknya menyeberang jalan. Karena jalanan sudah sepi, dengan mudah kami bisa melintas di jalan tanpa khawatir tertabrak. Alun-alun di malam hari memang lebih bagus. Sebagian besar tempat ini di dominasi taman yang ditanami bunga-bunga tasbih aneka warna dan semak-semak yang dipangkas dengan rapi sebagai pagar pembatas antara taman dan jalan-jalan setapak beralas batu yang membelah beberapa bagian taman. Tempat ini berbentuk bundar, di tengahnya ada kolam teratai yang lumayan besar – walau sekarang teratainya jarang. Di tengah kolam ada monumen mirip menara obelisk – yang pernah disebut Lintang sebagai Menara Kegelapan milik Kaisar Digimon. Di pinggir batas terluar alun-alun dan di pinggir kolam teratai, terdapat beberapa tiang lampu taman dengan model klasik, yang menerangi area ini dengan cahaya redup yang sendu.

Tempat ini memang berada di lokasi yang bagus. Di sekitarnya – di pinggir jalan raya di seberang jalan – ada pohon-pohon mahoni yang dibiarkan tumbuh besar dan tinggi – pasti umurnya sudah lebih dari seabad – menaungi daerah sekitarnya dan menyisakan langit terbuka di atas area alun-alun. Di belakang pohon-pohon itu ada bangunan-bangunan yang umurnya pasti juga cukup tua, yang mungkin sudah berdiri waktu orang tuaku belum lahir; bangunan Balai Kota, Penginapan, sebuah aula milik angkatan darat – yang juga sering digunakan sebagai tempat pameran – lalu ada dua buah bangunan SMA negeri, dan di ujung terjauh dari jalanan ini terdapat stasiun kota.

"Well, sekarang kau bisa melihat bagaimana suasana tempat ini kalau malam," kataku.

Mentari berjalan berputar-putar seperti gasing. Kelihatannya dia sangat menyukainya. "Indah sekali. Aku merindukan tempat ini. Aku merindukan kota ini," ujarnya. "Dan terlebih lagi, aku merindukanmu. Sepanjang waktu," tambahnya dengan suara yang lebih pelan.

Aku tidak menanggapinya. Aku selalu bingung kalau dia berkata seperti itu. Jadi aku menghindar, dan melangkah menjauh. Aku duduk di pinggir kolam. Kubiarkan Mentari yang masih sibuk mengamati sekitarnya seperti seorang anak yang baru melihat dunia dan ingin memperhatikan baik-baik apapun yang dijumpainya. Aku teringat pada gantungan ponsel di saku jaketku, tapi aku tidak ingin mengganggu keasyikan Mentari. Jadi aku menunggunya sambil mengamati bulan purnama di langit yang tak berawan, tapi sepi tanpa bintang.

Shattered MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang