Chapter 16: Rindu Pada Surga

23 1 0
                                    

Akhirnya kami benar-benar pergi ke rumah ibuku. Awalnya aku berencana mengantar Mentari pulang setelah ini, karena dia bilang punya tugas yang harus diselesaikan sebelum senin. Tapi dia bilang sudah meminta tolong pada Dhika untuk mampir menjemputnya setelah dia menonton sepakbola sore nanti.

"Aku tahu kau sibuk. Jadi aku tidak ingin semakin mengacaukan jadwal kegiatanmu," katanya. "Kau tidak apa-apa kan aku bareng Dhika? Dia tidak sendirian kok. Dia pergi bersama dua teman."

"Jangan bilang kau ingin aku merasa cemburu lagi." Aku menoleh pada Mentari dan mendapati dia tersenyum jahil.

"Terus terang saja, aku memang berharap begitu," katanya sambil nyengir. Lalu cengirannya memudar saat dia menegur, "Hey, perhatikan jalan kalau nyetir!"

Aku tertawa datar, dan kembali memfokuskan pandanganku ke depan.

"Bagaimana? Kau cemburu tidak?" desak Mentari.

Aku hanya mengangkat bahu dengan acuh tak acuh. Mentari mendengus. Aku tidak akan pernah mengakuinya pada Mentari. Ada bagian dari diriku yang lebih suka bila aku sendiri yang mengantarnya pulang.

Mobilku meluncur dengan lancar di jalan kabupaten yang lebih lengang. Melegakan sekali tanpa adanya kemacetan dan teriakan klakson yang mengekspresikan ketidaksabaran pengemudinya.

Sekarang ibuku tinggal di pinggir kota, di rumah peninggalan orang tuanya. Ibu dan Lintang pindah kesana beberapa bulan setelah aku pindah ke rumah yang kubeli dengan sebagian uang warisan dari ayah. Sementara itu, ibu mengontrakkan rumah yang kami tinggali dulu kepada salah seorang kenalannya.

Selama di perjalanan, Mentari tampaknya cukup menikmati apa saja yang dilihatnya. Masih banyak lahan terbuka dan sawah yang luas disana. Namun aku lebih menyukai pemandangan di tempat tinggal yang lama. Tempat tinggal kami yang lama berada di sebuah lembah, dengan perbukitan yang mengelilingi sisi timur hingga ke selatan dan punggung sebuah gunung yang menjulang di sisi barat. Kesannya sangat berbeda dengan keterbukaan daerah ini.

Aku merindukan tempat tinggal kami yang dulu. Meskipun ada banyak kenangan yang tidak menyenangkan, tapi di tempat itulah aku mengecap masa kanak-kanak yang tidak mengkhawatirkan apapun, masa saat keluargaku masih lengkap.

"Masih jauh?"

Pertanyaan Mentari membuatku tersadar dari lamunan. Sesal dan kelegaan bercampur jadi satu. Aku menyesali kecerobohanku terhanyut dalam lamunan saat mengemudi. Untungnya jalanan yang kami lalui jarang di lalui kendaraan dan mobilku melaju dengan kecepatan yang normal.

"Tidak. Nyaris sampai," kataku. Aku memelankan laju mobil ke tepi jalan, lalu membelok masuk ke halaman sebuah rumah kuno – yang pagarnya terbuka.

"Wow," gumam Mentari kagum.

"Ini dulu rumah orang tua ibu," kataku.

"Hebaaaaaat!" seru Mentari sambil ternganga memandang bangunan kolonial yang bagian sayap baratnya telah direnovasi menjadi bangunan berlantai dua, meski kesannya jadi aneh, menurutku. "Aku suka bangunan kuno. Menarik!"

Satu hal lagi hal yang tidak terduga dari Mentari, gadis yang lahir dan tumbuh di kota besar dimana banyak berdiri gedung modern yang tinggi dan sangat gemar shopping ke mall punya ketertarikan pada bangunan tua. Dulu kusangka dia gadis kota besar yang hanya suka nongkrong seharian di mall dan main ke pantai pada akhir pekan, seperti gadis pada umumnya. Tapi ternyata dia bisa kerasan di kota pelajar dengan beberapa mall kecil – bila dibandingkan dengan kota asalnya – dan sering diguyur hujan.

"Mungkin kau juga akan menyukai rumah kami yang lama," kataku, teringat pada rumah masa kecilku.

Mobilku berhenti tepat di halaman depan.

Shattered MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang