Pelajaran dimulai tepat pukul sepuluh pagi, tapi sejak awal aku sudah kehilangan minat. Aku terpekur menatap layar ponsel yang menunjukkan daftar pesan masuk yang panjang. Hanya satu nama yang tampak disana. Mentari, nama yang mendominasi daftar pesan masuk di ponselku selama hampir setahun ini, adalah milik seorang gadis yang pantang menyerah berusaha menggantikan posisi Kirana.
Aku belum membalas satu pun pesannya sejak kemarin. Bukan karena tidak peduli, tapi aku tidak tahu bagaimana harus menanggapinya.
Ponsel di tanganku bergetar lagi. Nama yang sama bertambah satu lagi di daftar. Kubuka pesan baru itu.
'Apa yang sedang vampirku lakukan sekarang? Aku sedih karena sejak kemarin kamu tak peduli padaku.'
Aku mendesah dan mengetik jawaban singkat untuk Mentari, 'Aku sedang di kelas. Nanti saja ngobrolnya.'
Meski aku berkata demikian, Mentari lah yang selalu lebih dulu mengirim SMS dan aku hanya menanggapi beberapa pesannya. Dia pasti jengkel, tapi itu pun tidak membuatnya berhenti.
Mentari lah yang meminta hubungan ini. Sementara berulang kali aku menanyakan keyakinannya pada perasaannya sendiri, sambil berharap dia akan menyadari kekeliruannya. Walaupun dia memang penggemar film horror, bukan hal yang benar kalau dia setenang dan sesenang itu memacari vampir. Bukan hal yang benar kalau aku diam saja dia terus melakukan kekeliruan dan tidak mau membuka matanya.
Memang benar, aku juga melakukan kesalahan karena telah menerima perasaannya. Aku menyesalinya. Meskipun niatku waktu itu tidak lebih karena ingin membuatnya senang. Selain itu, karena aku luluh melihat keteguhannya.
Pertama kali bertemu dengan Mentari saat aku kelas dua belas. Dia adalah murid kelas sepuluh pindahan dari kota lain. Dia berpapasan denganku di gerbang sekolah. Saat itu ekspresinya aneh dan dia bengong memandangku. Aku memilih untuk tidak mengacuhkannya.
Suatu ketika aku berpapasan dengan Mentari di koridor. Mentari sedang membawa setumpuk buku dari ruang guru. Dia tersandung tali sepatunya sendiri dan terjungkal. Aku membantunya mengumpulkan buku yang dibawanya. Setelah itu, aku sering mendapatinya berada di sekitarku. Entah dia mengikutiku atau apa. Aku nyaris selalu bertemu dengannya, di perpustakaan, di kantin, bahkan di toko buku yang biasa kukunjungi.
Kami tidak pernah secara langsung berkenalan, bahkan sampai aku lulus SMA. Kemudian Mentari menghubungiku lewat jaringan sosial di internet. Dia bilang dulu terlalu malu untuk berkenalan. Kemudian kami bertemu lagi saat dia datang ke acara festival budaya di kampus.
Kelasku memutuskan untuk membuka stand kue dan es krim. Aku dan Kirana mendapat tugas menjaga stand di hari kedua. Tepat saat jam makan siang, Mentari datang bersama beberapa temannya. Mereka melongo melihatku.
"Senior Chandra........," ucap Mentari terperangah.
"Hai. Kalian mau beli kue?" tanyaku datar, tidak melupakan tugasku karena sedang memegang keranjang kecil berisi kue brownies.
Aku merasa tidak nyaman dipandangi oleh Mentari seolah aku ini makhluk luar angkasa. Itu pastilah karena kostum yang kukenakan, karena konsep yang dibuat oleh penggagas stand ini mengharuskan penjaganya mengenakan pakaian lolita dan aristokrat. Aku tahu aku pasti terlihat konyol di depan gadis itu hingga membuatnya terperangah.
Mentari tampaknya masih belum bisa berkata-kata. Mulutnya agak terbuka hingga aku khawatir dia akan tersedak. Untungnya Kirana datang mencairkan suasana.
"Hei, Chandra. Kamu harus menawarkannya sambil tersenyum," tegur Kirana sambil menepuk punggungku. Kirana beralih pada Mentari dan empat orang temannya yang nyengir dengan wajah tersipu. "Maaf ya, dia terlalu suram, tak cocok melakukan hal seperti ini. Kalian mau beli kue dan es krim?" Kirana menawarkan dagangannya sambil tersenyum ramah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Shattered Moon
VampirosSeorang pemuda pemburu vampir. Seorang gadis halfblood yang menawan. Dan seorang gadis manusia yang tulus. Kegelapan mengikis nurani. Menenggelamkan harapan. Prasangka dan keputusasaan terjalin menjadi satu. Akankah masa lalu diabaikan? Sementara da...