Chapter 22: Api Dalam Kehampaan

18 0 0
                                    

Dari tengah kegelapan yang nyaman, tiba-tiba saja muncul rasa panas yang membuatku amat terganggu. Mendadak aku merasa sangat haus, seolah sudah lama sekali aku tidak pernah minum. Aku tidak bisa mengingat apapun. Namun dari rasa panas dan haus ini mungkin saja kalau aku sedang kesasar di tengah padang pasir. Saking panasnya, mungkin itu membuatku jadi tidak bisa mengingat bagaimana aku bisa terjebak disini. Untuk ukuran padang pasir, ini aneh sekali, karena teramat gelap. Bukankah mestinya malam di padang pasir itu dingin. Dan rasanya aku tidak tengah berada di atas pasir. Aku tidak yakin apa yang kupijak. Aku bahkan tidak yakin aku sedang berdiri atau berbaring. Tidak bisa merasakan apapun selain panas dan haus

Tiba-tiba saja ada suara. Suara keras seperti benda yang dipukul-pukul. Sebentar kemudian, suara itu berhenti. Lalu aku merasa seperti ada seseorang yang memanggil. Suara yang begitu familiar.

Siapa? Suara siapa itu?

Suara yang familiar itu terdengar lagi.

"Adakah orang lain selain aku di tempat gelap ini?"

Suara itu berhenti. Entah mengapa aku merasa kehilangan. Aku ingin mendengarnya lagi. Lalu ada suara lain. Suara musik yang juga sudah familiar. Seperti suara piano yang galau sekaligus sedih.

Namun rasa panas dan haus yang kurasakan semakin sulit diabaikan. Perhatianku pada suara-suara itu jadi teralihkan. Semakin lama, rasa panas itu semakin menyesakkan dan menyiksa. Satu pemikiran muncul di kepalaku. Mungkin aku sedang berada di neraka.

Aku memang tidak pernah tahu bagaimana rupa neraka. Tapi aku tahu kalau itu adalah tempat untuk menghukum makhluk Tuhan yang telah berdosa. Dan aku yakin ada api di neraka. Panas ini yang menyiksa. Meski tidak ada api yang terlihat. Hanya gelap yang begitu pekat. Aku tidak bisa menghindar ataupun bergerak. Ini pastilah hanya awal dari penyiksaan yang harus kuterima atas dosa yang dulu kuperbuat.

Suara musik tadi terdengar semakin keras, seolah berusaha meningkahi panas yang melingkupi kegelapan. Semakin keras, hingga membuatku gila.

Di tengah kegilaan itu, kegelapan tiba-tiba terusir oleh cahaya – cahaya yang masuk ke mataku saat aku membuka mata.

Aku tidak berada di neraka. Aku berada di kamarku yang redup dengan cahaya muram dari lampu tidur di meja di samping ranjang. Cahaya matahari dari luar terblokir oleh tirai yang tertutup. Namun rasa panas itu masih ada, membakar dan menyiksa, terutama di tempat wanita scion itu menghujamkan taringnya. Dan rasa haus yang tidak normal itu seolah mengeringkan tubuhku.

Saat musik yang kudengar tadi akhirnya berhenti – yang ternyata adalah dering ponselku, meskipun masih sedikit bingung, aku mulai kembali mendapatkan secuil ingatanku.

Ramuan dari Violet. Lalu sekarang monster itu kehausan.

Aku bangkit dari tempat tidur – mengabaikan pandanganku yang mendadak buram karena bergerak tiba-tiba – dan buru-buru mencari tonik ataupun kapsul darahku. Tidak ada apapun selain ponsel di meja di samping tempat tidur. Aku juga tidak menemukannya di dalam laci. Jadi aku menuju ke ruang tengah – dengan tersaruk-saruk dan menabrak beberapa perabot. Lalu ada ketukan keras yang mendesak diiringi suara gadis yang memanggil-manggil dengan panik.

Itu Mentari.

Darah lagi, pikir si monster senang.

Tidak! Tidak akan kubiarkan kau mendapatkan apa yang kaumau kali ini. Selama nalarku masih berfungsi, aku tidak akan membiarkanmu.

Mentari semakin berisik di luar sana. Sedangkan si monster terus mencakar-cakar dinding kesadaranku. Kututup telingaku sambil menghambur ke dapur. Bisa kurasakan taring dan cakarku yang mulai tumbuh.

Shattered MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang