Chapter 17: Sebuah Pengakuan

31 0 0
                                    

Aku menyalakan mesin. Di luar sana, Lintang melambaikan tangannya dan Ibu mengawasi kami. Mentari balas melambai. Lalu aku memundurkan mobil sambil sesekali mengawasi jalan di belakang dari spion. Setelah mobil berada di posisi yang aman di jalan raya, Mentari mulai membuka mulutnya hendak bicara, aku mulai memacu mobil.

"Bagaimana?" tanyanya.

Aku menoleh padanya sejenak dan mengangkat alis, tidak mengerti. "Bagaimana apanya?"

"Bagaimana perasaanmu tadi?"

Aku terdiam, memfokuskan pandangan pada jalanan yang sepi sambil menimbang-nimbang jawaban apa yang paling tepat. Mentari mengawasiku sambil menunggu jawaban. Setelah dua menit, baru aku menjawabnya.

"Rindu," kataku pelan, tapi aku yakin Mentari bisa mendengarnya karena dia mendesah dan mengalihkan pandangannya ke depan.

"Pasti perasaan yang berat ya," ujar Mentari, pandangannya menerawang. "Wajar kau merasa demikian." Aku menoleh sekilas padanya dan melihat ekspresi sedih di wajahnya. Mentari seolah hampir menangis.

"Jangan menangis," celetukku. "Kau tidak perlu ikut merasa sedih."

"Bagaimana mungkin aku tidak ingin menangis? Hanya dengan melihat matamu saja aku jadi merasa sedih. Aku tahu kau takkan mau menangis, jadi aku yang akan menangis. Itu tidak apa-apa kan?" omel Mentari.

"Pokoknya jangan menangis," tandasku.

Mentari menelan ludah. Ekspresinya tetap keruh. Dia menunjuk dashboard. Bolehkah aku melihatnya?" tanyanya.

Aku mengangguk kaku.

Mentari membuka dashboard dan mengeluarkan kotak biru gelap itu. Dia membukanya dan mengerang. "Bagusnya. Ini sangat cocok untukmu. Ibumu benar-benar pintar memilih ya," komentarnya. Lalu dia menambahkan dengan suara yang lebih pelan, "Ibumu juga masih muda dan cantik."

"Ibuku sudah berumur lima puluh tahun. Sudah tidak muda lagi," sahutku sambil lalu.

Mentari ternganga. "Yang benar? Beliau tidak tampak seperti sudah berumur setengah abad." Mentari membelalak tidak percaya.

Aku tertawa.

"Ibumu bukan vampir, kan?" tanya Mentari curiga.

Aku tertawa lagi. "Kau kira untuk apa aku membeli rumah sendiri kalau ternyata ibuku juga vampir. Kalau ibuku vampir, beliau tidak perlu takut padaku, kan," ujarku agak getir.

"Maaf," Mentari menggumam, tersipu.

"Hei, ada apa denganmu dan kata maaf?" Aku mengutip kalimatnya tadi pagi.

Mentari menoleh padaku dan menyipitkan mata. "Itu kan kalimatku!" serunya.

Aku menyeringai padanya.

"Kau pandai sekali berakting ya," Mentari mendengus.

"Jangan memperburuk suasana," aku mewanti-wanti. Aku heran mengapa Mentari lebih suka segalanya suram. Padahal lebih baik kalau aku tidak menunjukkan yang sebenarnya kurasakan.

"Aku hanya tidak ingin kau terus-terusan bersandiwara, sementara kau sendiri sebetulnya menderita. Tidak ada salahnya untuk melepas topengmu sekali-sekali. Setidaknya mumpung aku ada disini. Aku ingin diriku berguna, setidaknya untuk meringankan beban hatimu."

Aku mengatupkan rahang rapat-rapat dan tidak menjawab sepatah pun selagi Mentari sekali lagi menghujaniku dengan panahnya.

"Lintang bercerita banyak padaku. Aku sangat berterimakasih padanya karena memberiku banyak petunjuk untuk mengenalmu. Lintang bilang, daripada dengan ibumu kau lebih dekat dengan almarhumah nenek dari pihak ibumu. Lintang juga bilang kau sangat mirip dengan ayahmu. Meskipun dia tidak sempat mengenalnya, tapi dia tahu dari cerita ibumu. Katanya bahkan suara langkah kakimu pun sama persis dengan almarhum ayahmu," kata Mentari. Lalu dari spion, sekilas kulihat wajahnya berkerut, tampak cemas. "Lintang khawatir padamu. Dia tidak bilang padaku tepatnya apa yang dicemaskannya. Tapi sepertinya dia takut kau akan meninggalkannya. Kau tidak berniat pergi jauh atau semacamnya, kan?"

Shattered MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang