Kondokoso Ecstasy

2.7K 167 37
                                        

(Lanjutan dari Hizukehen Kousen)


*****


Perjalanan yang melelahkan, langit yang mulai bangkit dari kegelapan kini perlahan memburamkan pekatnya gelap malam, menunggu sang surya bertugas menghangatkan alam raya yang membawa tubuh kami pada tebing perbatasan langsung dengan jalan raya dan pemandangan laut.

Bau dari garam khas laut menyeruak, aku menoleh pada kursi samping kemudi, dimana dirinya masih memposisikan tubunya terbaring pada kursi mobil yang di set lebih rendah dengan jaket yang menutupi bagian depan tubuhnya.

Veranda.... Nama yang unik, perempuan yang dengan ketidak sengajaanku malam itu pergi meninggalkan club malam hanya karena kelancangan para pria biadab itu membuatku muak. Terlebih semalaman Veranda begitu banyak bicara tentang kehidupan pribadinya yang ternyata tidak jauh peliknya dengan hidup yang kujalani saat ini.


Drrrtt... drrtttt...


Pandanganku yang masih terpaku pada seonggok gadis ini kemudian mendelik pada dashboard mobil dimana ponselku tergeletak. Meraih kemudian hanya menatapnya sebentar, lalu kembali menaruhnya di tempat semula ketika aku tahu siapa yang menelepon. Dia laki-laki berkuasa yang membelenggu kehidupanku dari kebebasan, merasa dirinya memiliki kewenangan untuk menggenggam hidupku dengan alasan materi dalam tangan liciknya.

'Ugh...' Perempuan ini terusik, mungkin karena suara getaran dari ponselku tak kunjung berhenti dan itu mengganggu tidur lelapnya. Ia meringis menaruh satu tangan pada kepalanya kemudian menoleh padaku dengan mata yang masih enggan terbuka, "Kenapa tidak kamu angkat?"

"Buat?"

"Mungkin penting..."

"Loe salah, itu nggak lebih penting dibanding gue hirup udara pagi ini." Senyum simpulnya terpancar dari wajah yang masih menyisakan make-up bekas semalam. Dia memalingkan wajahnya dariku menuju luar jendela, menarik nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya seiring kedua tangan itu terangkat untuk merenggangkan tubuhnya.

"Masih bisa mengemudi? Ada sebuah rumah di pinggir pantai sana, kita bisa menggunakannya untuk sementara waktu. Anggap saja sebagai tempat untuk beristirahat sejenak setelah perjalanan panjang yang cukup melelahkan semalam."

Belum sempat aku melontarkan pertanyaan yang tiba-tiba saja bergumul dalam fikiran, ia tertawa kecil, mengikat rambutnya sambil membuka jendela mobil hingga bau garam dari laut itu semakin terasa, angin lembut membelai wajah dan anak rambutnya yang tertinggal, bebas tak terkuncir.

"Aku membawamu kesini, karena ini satu-satunya tempat dimana aku bisa bersembunyi. Ayah atau orang-orang brengsek itu tidak mengetahui tentang tempat ini, hanya aku... dan kamu sekarang."

"Dan? Apa lagi yang mau loe bilang sama gue sebelum gue kembali nyalain mobilnya?"

"Aku akan memasak untukmu pagi ini. Dan bertanggung jawab atas tubuhmu yang pasti merasa pegal karena mengemudi semalaman." Dia menoleh kembali padaku saat kepalanya ia keluarkan dari mobil dengan kedua tangan yang menjadi tumpuan dagu dari pintu. Not bad, tawaran yang menarik, aku kembali menyalakan mesin mobil lalu...

"Tunggu..." Ia mencengkram lenganku yang berada pada kemudi, refleks aku menoleh padanya yang sedang mati-matian menelan ludah, "Tidak adil rasanya jika hanya kamu yang mengetahui namaku, kau... belum menyebut siapa namamu."

Jadi itu? Hahaha... lucu sekali dia, aku mengetuk-ngetuk jemari telunjuk ini yang masih menggenggam kemudi, berpura-pura berfikir sambil menahan senyuman yang hendak keluar seiring aku yang hendak menyebutkan nama, entah mengapa pertanyaan darinya membuatku ingin tertawa, mengapa segugup itu hanya untuk bertanya nama?

ONE SHOOT!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang