Temo Demo No Namida (Airmata perasaan yang tak tersampaikan)
*****
Langit yang menggelap, mengarsirkan warna abu-abu kelam di angkasa dalam potret dunia yang meredup tanpa cahaya sinar mentari. Gemuruh guntur yang terdengar samar seakan menjadi sebuah sirine bagi mereka, para pejalan kaki untuk bergegas dan mengawasi daerah sekitar untuk sekedar meneduhkan diri dari rintikan air hujan yang hendak bertugas membasahi permukaan bumi.
Aku terus mengukuhkan kedua kaki-ku untuk tetap berdiri pada seberang jalan. Lampu lalu lintas yang semula hijau kemudian berganti menjadi merah, seakan patuh dengan besi dingin penyangga ketiga lampu ini menempatkan dirinya di udara, seluruh kendaraan berhenti dan para pejalan kaki bergerak dari diam mereka di sisi jalanan yang lain.
Sudah berapa lama aku berdiri? Aku bahkan tidak memperdulikan hal-hal kecil semacam itu hanya agar kedua mataku ini tak terlepas dari objek yang sedang menjadi tujuan kedua bola mataku menatap.
Aku sudah meyakinkan hatiku untuk mengungkapkan perasaan ini padanya. Ya, setelah sekian lama aku bergelut dengan keraguan akan kesalahan dari perasaanku, hari ini... aku sudah benar-benar akan menyatakan perasaanku padanya. Pada seseorang yang membuat aku berani membuat keputusan sejauh ini.
Butiran demi butiran air yang menetes tepat di atas tubuhku seakan sedang berusaha untuk menyadarkanku. Segera kuraih payung yang tersimpan dalam tas yang kuapit pada lengan kanan lalu membukanya agar tubuhku terlindung dari hujan. Rintik air yang semula tipis, kini semakin deras dan membasahi seluruh permukaan jalanan dihadapanku.
Kedua mataku membulat, desir darahku mengalir begitu hebat sambil mengeratkan genggamanku pada payung yang masih melindungi tubuhku, mengekor pada dua insan yang berjalan dibawah satu payung ditengah derasnya hujan. Sesekali satu dari mereka melayangkan candaan sambil berlari meninggalkan satu orang lainnya dengan payung yang ia genggam. Dan dengan gerak-gerik manisnya, perempuan yang dibiarkan terbebani air hujan ini mencoba mengimbangi langkahnya untuk kembali berjalan sejajar dibawah satu payung diikuti oleh sebuah rangkulan untuk menjaganya agar tetap berada disana.
Walaupun ku pakai payung, pipiku pun tetap basah...
Diri ini, tak berdaya... temo demo no namida...
Ada apa ini? Apakah payung yang sedang kugenggam tidak sanggup menahan ribuan tetes air hujan dari angkasa luas ini? Ku seka jejak bekas air hujan yang tetesannya baru saja meninggalkan ujung dagu. Mengapa seakan kedua lututku ini berkarat? Tak dapat sejalan dengan keinginanku yang sangat ingin berlari meninggalkan tempat ini dengan segera.
Kak Kinal...
*Flashback : On*
"Ada apa?"
Aku meluruskan pandanganku pada seorang perempuan yang memakai kemeja hijau tanpa kancing hingga menampilkan kaus putih dengan rambut yang terkuncir secara asal karena rambutnya yang pendek.
"Kena hukum gara-gara nilai kanji aku 'minus C' kak...."
"Hahaha... pasti pelajaran sensei Rudolf? Dia emang gitu, wajar kalo nilai anak didiknya kecil. Udah jarang masuk, sekalinya masuk langsung test."
Kak Kinal, begitulah ia memperkenalkan dirinya yang ternyata seorang senior satu tahun diatasku. Badluck karena pada pelajaran kali ini aku tidak dapat menyimak materi hanya nilai test-ku pada pertemuan sebelumnya sangat kurang dari kata baik.

KAMU SEDANG MEMBACA
ONE SHOOT!
Fiksi PenggemarKumpulan oneshoot.... Silahkan dibaca jika berkenan ^^