Gemuruh guntur menjadi iringan langkah kaki yang awas terhadap genangan air yang berkumpul di beberapa titik jalanan yang sedikit cekung. Rintikan air hujan deras menghujami permukaan payung yang sedang kugenggam mengiringi kepergianku menuju kantor pagi ini.
Dingin, hawa dingin yang menembus blazer hitam mampu menikam permukaan kulit hingga tanpa sadar rahang ini bergetar. Senin yang buruk, ditambah dengan derasnya hujan yang turun, semakin menguatkan keyakinanku untuk berbalik arah, melemparkan tas ini kesembarang arah, menyembunyikan tubuh mungilku ini di balik selimut tebal. Hanya karena alasan closing meeting yang wajib dihadiri, aku harus puas merelakan jatah cuti tahunanku tidak mendapatkan confirm dari atasan langsung.
Perusahaan yang menyebalkan.
Dibalik itu semua, aku tetap mencoba mensyukuri segala hal yang aku punya di hidupku. Seperti pekerjaanku sendiri misalnya. Jika saja saat itu aku gagal mendapatkan job ini, mungkin hingga detik ini aku hanya akan tetap menjadi seorang wanita yang baru saja melepas jeratan kata 'mahasiswi' dan menjadi penghuni kamar kos pengangguran dan menghabiskan seluruh sisa hidupku hanya untuk menonton televisi dan bermalas-malasan di atas kasur seharian saja.
Hujan yang semakin deras akhirnya memaksaku untuk merogoh saku dan berteduh pada sebuah halte yang sudah tak lagi digunakan. Ada seorang laki-laki menggunakan kaus lengan pendek serta jeans yang sedang duduk di ujung samping kanan kursi tunggu, terlihat sibuk menulis sesuatu pada permukaan kertas yang beralaskan sebuah papan.
Seseorang, baru saja terhubung denganku dari seberang saluran.
"Hallo, selamat pagi pak? Maaf hari ini sepertinya saya akan terlambat datang karena hujan masih sangat deras. Saya tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju halte bus karena guntur juga cukup membuat para pengendara berteduh. Saya akan tiba di kantor setelah hujan sedikit mereda," Ucapku sedikit keras karena suaraku teredup akibat gemericik air hujan yang berbondong-bondong terjatuh pada permukaan aspal dan atap halte yang sedang melindungi tubuhku.
"Baik pak, saya usahakan datang sebelum makan siang nanti, terimakasih pak," Seluruh Karbon dioksida yang tertahan akhirnya kuhembuskan secara kasar ketika sambungan telepon terputus. Berdiri memandangi jalanan yang sepi dan genangan-genangan air dari ruas jalan yang bergerak memasuki lubang gorong-gorong. Aneh sekali, tidak ada orang yang mau berteduh di tempat ini, masih menyisakan aku dan laki-laki yang masih sibuk berkutat dengan pensil dan kertasnya.
Sempat aku mencuri-curi pandang, ternyata laki-laki ini sedang sibuk menggambar pemandangan di depan halte. Progressnya mungkin masih kisaran 60% masih dalam bentuk kerangka, yang beberapa kali ia hapus dengan sangat teliti.
Aku mengadahkan kepalaku pada langit yang masih saja berwarna kelam. Awan hitam mendominasi langit dari cerahnya matahari yang seharusnya bertugas menghangatkan bumi, menelan seluruh cahaya dan meredupkan pandangan dari lukisan Tuhan yang sedikit dipuji oleh manusia. Mereka terlalu sibuk dengan urusan duniawi dan kadang seakan lupa caranya untuk bersyukur.
'Shhhhh, errghhh! Kenapa sih!'
Kudengar ia memprotes dirinya sendiri, kemudian beberapa saat berlalu, suara sobekan kertas yang dilakukan berulang-ulang terdengar. Lagi, dari ujung sudut yang berbeda, aku menoleh dan mendapati laki-laki tersebut kini memandang ke arah sebelah kiri dengan menumpu kedua tangan yang mengepal di atas lutut. Sobekan-sobekan kertas berhamburan pada lantai yang terbuat dari semen yang kondisinya basah oleh air hujan.
