Sudah berapa lama ditinggalkan? Sudah berapa lama meninggalkan? Sudah berapa lama mereka saling mengurung, mengekang hati mereka untuk terbebas mengudara? Sudah berapa lama...
Merekaberdiri di atas panggung penuh kesandiwaraan dalam sebuah lakon cerita yang seolah tanpa batas? Tanpa akhir, tak bertuan.
Sudah berapa lama sepasang mata tetap menatap pada seonggok manusia yang selalu duduk bersila menghadap sebuah danau? Danau tenang dan misterius melahap seluruh gelombang suara yang saling bersahutan. Melahap jiwa seorang gadis yang tetap membisu, menyerahkan angan dan asa jauh di dasar sanubari, merelakan ego tetap menunggu yang tak pasti. Hukum karma telah meraung, mengoyak kebimbangan dan menghancurkan ketamakan dirinya. Membawa dia kembali ke dasar haluan, memandang kosong penuh harap bahwa perempuan lain, akan menemuinya di sini...
Jam enam pagi, hingga jam enam petang.
Dia akan selalu memasang badannya demi menyatu dengan danau. Sesuatu yang disukai oleh seseorang yang hatinya bahkan sudah ia hantam bertubi-tubi dengan kerasnya pengkhianatan.
Mengingat seluruh kesakitan hatinya, mengingat eratnya sebuah jabat tangan terakhir penuh dengan cucuran air mata yang tak terbendung, mengingat kembali bagaimana seluruh sandiwara yang ia susun dengan rapi akhirnya terhambur berserakan tanpa pernah bisa dibangun kembali. Serpihan-serpihan lain dibawa oleh sang empunya hati, tanpa pernah tahu dimana dia kini, tanpa pernah meninggalkan setitik jejak, memberinya secercah harapan untuk kembali bersama dalam balutan rasa kasih sayang dan hangat senyumnya.
Semua tentu hanya sebuah angan tanpa harap. Bagai jiwa yang tak bisa menyatu dengan raga, berada di ambang kehidupan dan kematian, napas yang terhembus dan denyut nadi bahkan hampir tak bisa terasa.
Setiap kali bayangan tersebut mencuat dari dasar memori, satu tangan yang tak pernah ia lepaskan dari secarik kertas lusuh yang sudah tak lagi berwarna putih bersih selalu menjadi pelampiasannya. Tulisan tangan dari seorang yang pernah menghiasi hatinya bahkan mulai memudar, meski tetap saja... dia sudah sangat hapal kata demi kata yang terangkai di dalamnya, dia tidak perlu lagi membaca kembali untuk mengingat apa yang tertulis disana.
Beby selalu merasakan, kesedihan yang tercampur dengan kebencian, kekecewaan, bahkan seluruh amarah dari rangkaian kata tersebut dengan sangat mendalam. Apa yang sedang ia lakukan sekarang, tidaklah sebanding dengan rasa sakit yang selalu ia sayatkan pada hati seorang gadis yang tanpa disadari, meski hanya setitik luka sayatan, perlahan merambat semakin luas lalu kemudian membusuk.
Drap... drap... drap...
Kedua bola mata terbingkai oleh sebuah kacamata yang bertengger ini kemudian membulat. Seluruh tubuhnya melemas di balik sebuah pohon besar yang selama ini menjadi tameng tubuhnya untuk bersembunyi. Seorang gadis lain muncul, langkahnya bergerak dengan sangat amat perlahan, higheels yang mengetuk berbenturan dengan sebuah kayu jembatan kemudian memecah keheningan, berdiri tepat di samping tubuh perempuan yang masih duduk bersila dan tak sama sekali terlihat terusik.
Berjongkok, memandangi parasnya dari dekat berlama-lama adalah angan yang jauh-jauh dipendam olehnya. Hal yang tidak bisa dilakukan oleh Shanju, sebuah nama panggilan dari perempuan yang saat ini duduk bersila membelakangi tubuhnya. Hal yang justru dilakukan oleh orang lain, orang yang sama, yang mampu menghancurkan hatinya berkeping-keping, dengan susah payah ia rangkai kembali. Kini harus direlakan kembali untuk hancur entah untuk kesekian kalinya.
Ya, perempuan yang berada di samping Beby saat ini adalah Elaine,
.
.
.
Elaine Hartanto.
'Pulang, Beby...' Samar, Shania bisa mendengar apa yang dikatakan gadis mungil tersebut pada Beby. Menahan hati untuk tidak merasakan ngilu ketika satu telapak tangannya membingkai sebelah pipi tirus Beby sambil diusapnya perlahan. Tak disangka bahwa Beby menghadiahinya dengan sebuah tepisan kasar hingga tangan itu terlepas, keduanya kini saling bertatapan.
