Dua tahun berlalu begitu saja, dua tahun... terasa sangat sia-sia ketika kau tidak berada di sampingku. Dan kini aku kembali, dengan toga sebagai tanda kelulusanku beberapa waktu lalu.
Dua tahun belakangan ini, aku sudah tidak pernah lagi mengunjungi tempat ini secara rutin. Karena kesibukanku mengurus skripsi dan tugas akhir yang tanpa sadar menjadi sekat tak terpandang oleh kedua mata, pada akhirnya aku harus mengabaikan dia yang hingga detik ini tak kunjung tiba. Padahal, setiap minggu, di hari dan jam yang sama, kami selalu saling bertukar senyum kemudian menceritakan segala keluh kesah kami masing-masing.
Sudah hampir jam lima sore, senjapun sudah memberi sirine bahwa ia akan segera menyudahi tugasnya hari ini. Pantulan sinar cahaya mentari yang menerobos pada celah dedaunan itu secara tidak langsung menyorot langsung pada tubuhku yang masih setia duduk memandangi jalanan aspal yang sepi dari lalu lalang kendaraan.
Halte bus di daerah pedesaan seperti ini memang tak banyak, karena transportasi umum di tempat inipun sangat minim, dengan periode satu jam sekali, bus akan selalu muncul menaik-turunkan penumpang dari satu desa menuju desa lain dengan jarak yang mencapai delapan hingga sepuluh kilometer jauhnya.
Letak halte ini sedikit jauh dari pedesaan dimana aku tinggal. Pemandangan yang bisa kutemukan selain hanya aspal jalanan adalah, barisan pepohonan yang berjajar saja. Entah sudah berapa kali hembusan napas berat ini terciptakan, berkali-kali memandangi jam tangan yang kini sudah melewati lima menit dari pukul lima sore.
Sepertinya aku harus menunggu hingga satu jam kedepan.
Tik... tik...
"Ah?" Kedua mataku menatap pada langit yang kini menurunkan rintikan air hujan yang tipis kemudian tidak menunggu waktu lama untuk langit merubahnya menjadi deras. Satu tanganku terjulur, mencoba mewadahi air tersebut dengan telapak tangan, sebagian air yang tak terbendung bergerak turun mengenai lengan hingga terserap oleh baju toga yang masih aku kenakan.
Jenuh? Membosankan. Menunggu adalah sesuatu yang tidak pernah menjadi hal yang kusukai, meski aku sadar, aku telah membuat seseorang menunggu selama dua tahun belakangan ini. Pesan singkat yang aku kirimkan saja tak terbalas barang satu katapun disana. Lalu untuk apa aku menunggu? Berharap ia akan datang lalu mengucapkan selamat? Bukankah seharusnya aku yang menemuinya? Ia mungkin berharap diriku datang untuk mengucapkan kata maaf terlebih dulu.
Lalu detik ini, siapa yang sedang kau tunggu?
"Hmm~ Hmm~ Moshi kimi ga kokoro no michi ni mayotte mo, ai no basho ga wakaru you ni tatteiru..."
Tidak ada yang bisa kulakukan selain menggumamkan lagu yang menjadi lagu favoritku bersamanya. Lagu yang sering kami nyanyikan setiap kali langkah kedua kaki kami mengantarkan tubuh ini kembali menuju halte bus yang sama, halte bus yang sedang aku singgahi sekarang, sambil saling menggenggam erat tangan, ah... aku masih sangat bisa mengecap bagaimana rasa bahagia saat itu menepis jarak puluhan kilometer untuk bisa bertemu.
Tidak ada pilihan lagi selain menunggu hujan reda, aku tidak membawa payung, hujan begitu derasnya menahan tubuhku untuk menerobos jalanan yang kini sudah tergenang air. Perut yang mendadak meronta karena jadwal makan siangku harus tertunda oleh perjalanan yang tidaklah singkat, membuatku kini hanya bisa meringis sambil mengusap kedua lengan karena hawa dingin yang merasuk.
Bus pukul lima sore baru saja tiba di menit ke tujuh belas. Terlambat, meski tak membawa seorang penumpang yang aku harapkan, pintunya terbuka namun tak ada seorangpun yang turun bahkan menaiki bus tersebut yang kini sudah kembali meninggalkan halte dengan kecepatan perlahan.
Lagi, aku harus menunggu, mungkin jika bus jam enam nanti dia tidak juga muncul, aku akan menyudahi hari ini dengan tangan hampa. Memikul kembali seluruh rindu ini kembali pulang, memupuk, dibiarkan semakin meluap hingga tak terbendung.

KAMU SEDANG MEMBACA
ONE SHOOT!
Fiksyen PeminatKumpulan oneshoot.... Silahkan dibaca jika berkenan ^^