"Aku mau putus..."
Ini sudah kali ke tiga puluh sembilan dia mengatakan hal yang sama, dan sudah ke tigapuluh sembilan kalinya pula aku menjadi seorang wanita cengeng yang hanya berharap ini semua bunga tidur belaka. Laki-laki ini, hanya memamerkan punggung dan bahu lebarnya yang terbungkus kemeja berwarna abu-abu sambil menaruh kedua telapak tangannya di dalam saku celana jeans yang terlihat sedikit kebesaran. Hey, malam ini terasa lebih dingin atau bagaimana ya?
"Aku mau pulang," Ujarku sedikit mendesis karena angin malam baru saja berhembus membelai kulit lengan yang tak tertutupi. Dia kemudian berbalik dan berjalan mendahului aku begitu saja, kedua kaki ini ikut bergerak hingga tiba dimana mobilnya terparkir, membuka knop pintu dan menempatkan diri disamping kemudi.
"Kita putus..."
"Iya."
Untuk ucapan kali ini, aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak menangis, maka dari itu aku hanya bisa memalingkan wajahku pada jendela mobil, menatap kosong pada jalanan gelap sambil melepaskan tubuhku untuk bersandar pada kursi hingga tanpa sadar terlelap sendiri.
[...]
"Sin..."
"Hm?"
"Hhhhh..." Aku tersadar ketika kami sudah tiba di rumahku, dia hanya berusaha membangunkan aku kemudian wajahnya sudah menghadap jendela samping mobil yang satunya, sama sekali tidak ingin melihat padaku, "Putus, kamu tahu?"
"Iya, kak. Makasih buat hari ini, kakak hati-hati di jalan," Itu artinya terakhir kali aku akan bertemu dan terakhir kalinya dia mengantarku pulang. Tidak ada jawaban hingga tubuhku sudah berada diluar mobil dan menutup pintunya, dia kemudian menyalakan mesin mobil lalu pergi begitu saja dan aku mulai melangkahkan kedua kaki ini menuju teras rumah, baru pukul delapan malam, kami baru saja pergi satu jam yang lalu.
Mungkin kalian bertanya-tanya apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami dan dengan begitu mudahnya aku selalu mengabulkan itu untuknya. Itu karena dia adalah tunangan kakak-ku, benar... aku tidak berbohong, dia memang benar-benar tunangan kak Shinta satu tahun sebelum beliau meninggalkan kami semua, enam bulan menuju pernikahannya yang kemudian hanya menjadi angan belaka.
Aku tidak begitu ingat mengapa mendadak keluarga kami menginginkan aku dan kak Kinal melanjutkan semuanya, alasan terpentingnya karena ini permintaan kak Shinta, yang mendadak pergi karena penyakit kanker darah yang berhasil ia sembunyikan dari kami semua selama dua tahun lamanya. Diam-diam dia melakukan pengobatannya sendiri, bekerja keras sebagai pekerja paruh waktu ditengah kesibukannya sebagai mahasiswi tingkat akhir untuk membiayai semua pengobatannya sendiri hingga Tuhan ternyata lebih menyayangi dirinya dibanding kami semua, dia tidak ingin kak Shinta berusaha dan merasakan sakit lebih lama, dia membawanya pulang kembali menuju surga.
Tidak ada yang tidak terpuruk, kami semua terkejut termasuk kak Kinal. Dialah orang yang paling tidak menerima atas kepergian kak Shinta, dia bahkan sempat menuduhku telah membunuh kak Shinta dengan alasan karena aku mencintainya dan ingin merebut dirinya dari kak Shinta. Omong kosong! Dia seharusnya tahu aku bahkan lebih mencintai kak Shinta lebih dari siapapun di muka bumi ini, maka dari itu aku rela menyetujui permintaan terakhirnya yang menginginkan aku melanjutkan hubungannya dengan kak Kinal hanya demi kak Shinta semata.
"Maafin aku kak..." Kubenamkan wajahku pada bantal, aku tidak ingin kak Shinta melihatku yang seperti ini, aku tidak ingin dia tahu bahwa aku gagal mempertahankan permintaan terakhirnya untuk kesekian kali. Aku tidak ingin kak Shinta bersedih, hanya itu yang aku pikirkan.
