1.6

224 14 0
                                    

Nadine melepas pegangan tangannya di badan Patricia. Patricia masih saja memegangi Nadine karena cemas dengan keadaannya. Nadine pun meyakinkan Patricia jika ia telah sepenuhnya dapat berdiri sendiri dengan melepaskan tangan Patricia dari tubuhnya.

Nadine melihat Kevin yang terhanyut dalam irama rasa lapar yang amat sangat hebat. Bak rentetan peluru, suapan beruntun masuk kedalam mulut Kevin.

"Setelah ini kau mau kemana Kevin?"

"Em... pulang kerumah mungkin. Pakaianku compang-camping jadi aku perlu mengganti pakaianku dulu. Tapi anehnya saat aku melakukan teleportasi kerumah, aku malah tercebur di kolam. Padahal aku tidak pernah salah dalam menentukan koordinat tempat yang ku tuju."

Kevin berpikir sambil terus mengunyah makanan yang ada didalam mulutnya.

"...apa mungkin itu gara-gara aku telah lama tidak menggunakan kekuatanku ya?"

"Memangnya kau punya rumah?"

"Eh?"

Kevin menjadi bingung dengan pertanyaan Nadine. Nadine pun bertanya-tanya dengan tempat yang dituju Kevin. Setahu Nadine, Kevin tidak punya rumah sendiri.

"Bukankah kau dulu hanya menumpang dirumah seorang nenek yang mengira kau adalah cucunya."

Kevin tercengang sambil menelan makanan yang ada didalam mulutnya. Kevin pun mengingat hal itu. Ia membuang wajahnya menahan rasa malu.

"Memang... tapi nenek itu bilang anggap saja rumah sendiri. Jadi rumah nenek rumahku juga."

"Pembohong! Kau hanya menipu nenek-nenek yang sudah pikun. Asal kau tahu, nenek itu sudah lama meninggal. Dan mengenai tujuan teleportasimu aku rasa tidak salah. Sejak nenek itu meninggal, rumahnya telah menjadi bagian dari sekolah ini. Mungkin rumah itu dulu berada tepat di kolam sekolah ini."

"Yang benar!"

Nadine memejamkan mata dan menyiratkan senyum di bibirnya.

Mendapat kenyataan seperti ini membuat Kevin murung. Ia menundukkan wajahnya sebagai tanda keputusasaan yang ia rasakan.

"Jadi sekarang aku tidak punya tempat tinggal."

Dalam renungannya, tiba-tiba Kevin mendapat secercah harapan. Ia melihat Nadine dengan mata berbinar penuh harap.

"...bagaimana kalau aku tinggal dirumahmu. Kita teman bukan?"

Nadine melipat tangannya bersikap angkuh membuang wajah.

"Maaf, aku tidak akan memberikan tumpangan kepada seorang pengangguran walaupun itu teman."

"Uakh!"

Kevin tersentak mendapat serangan batin. Tapi Kevin tidak ingin menyerah, ia menunjukan wajah memelas dan mengutarakan permohonannya.

"Kau tega sekali... Ayolah berikan aku tumpangan kali ini saja, ku mohon. Setelah aku mendapat pekerjaan aku pasti akan memberikan imbalan untukmu. Anggap saja sebagai uang sewa."

"Pekerjaan? Memangnya kau itu bisa apa? Yang ku tahu kau hanya bisa berkelahi, merusak, dan sisanya tidak berguna."

Bahu Kevin jatuh sembari merenung dan mengingat apa yang selama ini ia lakukan. Depresi membelenggu dirinya ketika melihat kenyataan apa yang dikatakan Nadine semuanya benar. Dan Kevin pun terkekeh menelan rasa pahit.

"Khehehe tidak berguna. Ternyata aku hanya sampah masyarakat. Siapa saja tolong bunuh aku, bunuh lah aku."

Nadine mendesis melihat Kevin yang semakin suram.

"Seshh... sudah jangan murung. Aku akan memberimu pekerjaan."

"Benarkah! Serius!"

Kevin menyahut Nadine dengan cepat, memancarkan kilauan mata berkaca-kaca.

Senjata Pembunuh TuhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang