Lokasi di mana pertandingan persahabatan itu akan di gelar tidak jauh dari tempat semula. Itu adalah halaman akademi. Beranggapan bahwa tidak ingin menimbulkan kerusakan yang tidak terduga pada bangunan akademi, kepala sekolah menyuruh mereka yang akan bertanding untuk menjaga jarak.
Halaman itu sangat luas, cocok untuk dijadikan lokasi pertandingan. Tanah yang datar dengan sedikit debu, serta hampir semua sisi di kelilingi oleh pepohonan yang rindang.
Banyak murid yang berkumpul di tempat itu. Kebanyakan di sana adalah murid-murid dari divisi satu dan divisi dua. Mereka terlihat sangat tertarik untuk menyaksikan jalannya pertandingan. Karena itu pula, kepala sekolah menyuruh para penonton untuk menjauh agar mereka yang akan bertanding dapat bergerak dengan leluasa.
Para penonton dari murid divisi dua tampak sangat tenang. Dilihat dari ekspresi mereka, mereka seperti telah menduga bahwa hasil akhir dari pertandingan ini sudah dapat ditebak. Maka dari itu, tidak ada ambisi maupun perasaan cemas yang perlu mereka tunjukkan.
Sementara itu, penonton dari divisi satu...
"Semangat, Dias! Kau pasti bisa!"
"Hajar dia! Jangan sampai kalah dari bajingan itu!"
Itu adalah teriakkan dari Eliana dan Charlotte. Namun, tidak hanya itu, suara bisikkan dari beberapa teman sekelas yang merendahkannya pun sampai di telinganya...
"Ah, dia pasti babak belur."
"Itu wajar, 'kan? Dia sangat lemah."
"Kasihan sekali dia. Jika aku jadi dia, aku lebih memilih menjadi rakyat biasa saja."
"Itu karena kau cukup tahu diri. Tidak seperti dia yang tidak tahu malu, ya kan?"
"Ah, benar juga ya."
Mereka tertawa kecil di akhir cibiran mereka.
Charlotte dan Eliana melirikkan mata ke arah sumber bisikkan itu. Tatapan mata mereka berdua menampakkan rasa tidak senang mereka mendengar itu. Akan tetapi, mereka berdua lebih memilih untuk tidak menghiraukannya dengan kembali berteriak, memberikan dorongan semangat pada Dias.
Mendengar suara teriakkan mereka, wajah Dias memerah seraya tersenyum. Dias merasa sangat senang, walaupun di saat itu juga, ada perasaan malu yang tak tertahankan. Tapi, paling tidak, ia sangat berterima-kasih atas dukungan yang mereka berikan.
Dias menatap ke depan. Tidak jauh di sana, ia melihat lawannya sedang diberi arahan oleh wali kelasnya--Valkyrie.
"Dengar, Joe, karena ini hanya pertandingan persahabatan, maka jangan terlalu serius. Kau harus menahan diri karena dia adalah juniormu, tapi kau juga harus tetap waspada. Mengerti?"
"Jangan terlalu mengkhawatirkanku, Guru. Tidak anda beri tahu pun, aku pasti akan melakukannya dengan baik. Aku yakin, pasti aku akan menang mudah."
Valkyrie mengernyit, "Bukankah sudah kubilang untuk tetap waspada. Jangan meremehkannya hanya karena dia juniormu. Meremehkan lawan hanya akan memberikan celah lawanmu untuk menang. Kau harus tahu itu."
"Baik-baik, aku mengerti... Tapi bagaimana pun, aku harus mengatakan ini, kalau aku tidak terlalu ahli dalam menahan diri. Jadi sebelumnya, aku minta maaf jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan... Baiklah, kalau begitu, tonton saja pertandinganku dengan tenang. Aku berjanji tidak akan membuat Guru kecewa."
Melihat muridnya melangkah maju dengan santainya, Valkyrie menghembuskan nafas panjang seraya menjatuhkan bahunya. Ia tampak lelah dengan sikap muridnya yang bertingkah seenaknya.
Dias mulai gugup ketika melihat lawannya telah melangkah ke tengah lokasi pertandingan.
Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Aku sangat gugup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senjata Pembunuh Tuhan
FantasyDi suatu dunia dimana wilayah yang dihuni oleh 7 ras yang terus saling berperang dengan tujuan memperluas wilayah mereka. Disaat perang terus berlangsung tanpa pernah menemui sebuah perdamaian, disaat itu juga Tuhan menurunkan sebuah senjata disetia...