enam - kegiatan rama

117 11 3
                                    

PART KEENAM : kegiatan rama



***

Rama menyentuh dan menggeser tanda berwarna hijau di ponsel layar sentuhnya menggunakan ibu jari. Ia mengangkat telepon dari Dika, salah satu sahabatnya.

"Apaan?" Tanya Rama langsung, malas berbasa-basi.

"Yaelah. Ucap salam dulu, mas." Di seberang sana, Dika menggerutu.

"Iye. Assalamualaikum, mas Dika Ganteng, tapi boong." Ucapnya, namun kata tapi boong tidak terdengar sampai ke telinga Dika, yang memang kadang tuli itu.

"Waalaikumsalam. Hahaha, bisa aja lu, banggg. Makin cinta deh sama Rama si tai kecebong ini!" Jawabnya seperti
Waria yang sedang menggoda.

"Ye, gue dikatain tai kecebong. Lo kayak wanita penghibur,"

"APAAN? GUE COWOK TULEN YA, TAI KECEBONG! TUH SI FANO YANG AGAK-AGAK--"

" NGAPAIN BAWA-BAWA NAMA GUE, DIK?!" Tiba-tiba Fano berteriak hingga terdengar jelas di telinga Rama.

Dua sahabatnya itu, Dika dan Fano pasti sedang di tempat nongkrong biasanya.

Rama menjauhkan ponselnya dari telinga. Suara dua sahabatnya itu sangat keras dan nyaring. Bisa-bisa Rama besok tidak ada di dunia jika dia tidak dengan cepat menjauhkan ponselnya dari telinga. Ah, tidak juga. Rama kadang masih bingung, Dika dan Fano padahal sudah mengalami pubertas. Seharusnya suara mereka 'kan lebih berat. Sudah berat sih suara mereka, tapi mungkin hanya segitu saja maksimalnya.

Rama menempelkan lagi ponselnya ke telinga. "Kuping gue sakit, bego!"

"Haha, sorry, Ram. Abisnya si Fano main rampas hape orang aja." Jawab Dika sambil tertawa.

"Halah lo juga. Udah, udah. Lo ngapain nelpon gue?" Tanya Rama.

"Ye. Si Tai Kecebong, santai aja na--"

"To the point!" Perintah Rama mulai kesal dengan ucapan jail Dika dengan embel-embel "Tai Kecebong" Memangnya bagaimana bentuk dari tai kecebong ya? Ah, Rama mulai ngelantur.

"Mulai esmosi deh. Oke, gue langsung to the point. Lo kenapa gak sekolah? Bu Mini marah lagi sama lo, dia malah ngejelek-jelekin lo di depan kelas." Ucap Dika.

Rama tersenyum, walaupun ia tahu kalau Dika tak tau jika sekarang ia tersenyum. "Lo lagi-lagi bahas si Mini. Lo tau 'kan? Kalo dia udah benci banget sama gue. So, gue gak peduli apa omongannya. Mau omongannya pedes kayak sambalado yang dinyanyiin Ayu Ting Tong, peduli amat gue." Jawabnya panjang lebar.

"Gue nanya, kenapa lo nggak sekolah? Malah curhat. Btw, namanya Ayu Ting Ting bukan Ting Tong, geblek!"

"Serah gue. Gue bolos, biasalah."

"Biasanya lo ngajak bolos gue sama Fano, tapi kenapa lo mengkhianati kita, Ram? Kenapa?" Tanya Dika lebih dari kata dramatis.

"Lebay lo. Gue lagi jagain orang sakit, cewek bro, gue sekamar sama dia!"

"Ap---"

"Gue tutup. Bye!"

Rama sengaja mengerjai Dika, pasti sekarang Dika sedang penasaran setengah mati di seberang sana karena ucapan Rama yang ambigu.

***

"Ram. Jelasin ke kita-kita bisa kali, ambigu banget sih lo!" Bentak Dika.

Kali ini Rama sekolah seperti biasa. Seperti biasanya bukan layaknya murid seperti umumnya, tetapi ia sudah biasa berangkat sekolah jam setengah delapan. Jam 07:30 itu pun Rama tak langsung ke sekolahnya. Ia tadi menikmati rokok di café dekat sekolahnya. Tak lupa juga ditemani segelas kopi hitam favoritnya.

"Gak penting."

"Lo gitu ya sama kita. Gak dapet cewek baru tau rasa nanti!" Cibir Fano.

"Lo kali yang gak pernah dapet cewek, Fan!" Seru Dika sambil mendorong pelan bahu Fano.

Mereka bertiga sekarang berada di tangga, sedang duduk. Sesekali ada adik kelas 10 yang akan lewat, tetapi tidak jadi karena ada mereka, kakak kelas yang memang sudah terkenal dicap 'nakal, bandel, dan bego' oleh para gur.u.

Nakal untuk Rama.

Bandel untuk Fano.

Bego untuk Dika.

Atau... mereka bertiga cocok untuk mengambil jabatan 'nakal, bandel, dan bego' semuanya? Tetapi, Fano lumayan pintar. Walaupun ia tak dapat ranking di kelasnya, karena sikapnya yang sangat kurang.

Sedangkan Dika, betul-betul bego. Ia sangat lemot. Apalagi pelajaran matematika. Sangat susah otaknya berjalan.

Kalau Rama? Ia memang tak sepintar Fano, tapi setidaknya otak Rama masih bisa mengikuti pelajaran matematika (jika dipaksa) tak seperti Dika yang memang benar-benar...

"Ah, gue juga masih SMA. Putus-nyambung nanti mewek. Bikin status nyindir-nyindir mantan di sosmed. Saling unfoll instagram. Langsung lost contact. Gak penting banget. Kalo kalian bener-bener serius mau pacaran, ya pacaran. Tapi kalau nanti putus jangan salahin siapa-siapa. Nanti nyesel." Tutur Fano.

"Mulai deh, mulai...," cibir Dika.

"Gue ngomong kenyataan, ya!" Desis Fano.

"Kenyataan? Emang ada bukti?" Dika menantang, ia memang agak kesal jika sahabatnya ini 'sok' menasihati. Ya, walaupun kata-kata Fano ada benarnya juga sih.

Fano mencibir. "Ada!"

"Apa???" Tanya Dika memajukan wajahnya ke arah Fano, niatnya menantang, tapi Fano malah tertawa karena wajah konyol Dika berada di depannya.

"Apaan sih lo, Dik! HAHAHA! Muka lo kayak gorengan kelebihan minyak!" Fano tertawa keras.

"Emang segitu berminyaknya ya muka gue...?" Dika bergumam pelan. "Ah, gue perlu maskeran putih telur lagi, nih!"

"Gue denger lho, Dik!" Fano terkikik.

"Bodo amat,"

"Ye, si gorengan!"

"Apaan lo, homo!"

"Muka berminyak!"

"Muka amplas!"

"Ap--"

"Kalian ngacangin gue." Potong Rama.

"Oh, lo mau ikutan?" Tanya Fano.

"TAI KECEBONG!!!" Ejek Dika.

"Woi, sialan lo!" Umpat Rama kesal membuat Dika dan Fano tertawa kencang.

Mau tak mau Rama juga ikut tertawa mendengar kedua sahabatnya tertawa kencang sampai memegang perut mereka yang kesakitan. Mereka tak peduli tatapan aneh siswa lainnya. Ini menyenangkan. Melakukan hal konyol dengan sahabat memang menyenangkan.

Hanya seorang sahabat yang mau melakukan hal konyol dengan sahabatnya. Dengan sahabat, kita menjadi merasa ringan dan seolah tak punya beban di luar sana.

***

01 Agustus 2016

Kedai IramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang