PART KETIGA : banyak berkorban
***
Sesampainya di rumah sakit, Rama langsung memanggil suster yang sedang berlalu-lalang di koridor rumah sakit. Dengan tanggap, suster itu pun membawa Ira ke suatu tempat yang bernama UGD.
Rama diam di kursi tunggu, pikirannya berkecamuk saat tadi ia melihat keadaan Ira, perempuan yang baru dikenalnya beberapa jam lalu itu.
Tadi saat melihat Ira di pinggir jalan, Rama melihat betis Ira yang seperti tergores cukup dalam yang membuat gadis itu meringis selama di mobil. Mukanya juga lecet-lecet.
Ck, ada apasih sebenarnya? Batin Rama.
***
"I-ibu? Ba-bapak?"
Rama mendongak, mendapati Ira yang sedang kebingungan melihat selang infus yang dipasang di tangannya.
Ia mendekat ke ranjang rumah sakit yang ditiduri gadis itu, berusaha menenangkannya.
"Hei," sapa Rama seraya memegang lengan Ira. "Lo disini sama gue.Bokap nyokap lo belum tau lo disini."
Ira mengerjapkan mata, berusaha mengingat kejadian apa yang ditimpanya tadi sampai-sampai ia dirawat di rumah sakit semewah ini.
Aku tadi kecelakan dan aku meminta tolong kepada Rama. Batinnya berucap.
"Ah, maaf aku merepotkan." Ucap Ira pelan. "Aku nggak maksud buat---"
"Shhtt..., it's okay. Gue juga ikhlas lakuinnya." Potong Rama.
"Aku nggak maksud buat kamu jadi repot gini, a-aku pas sekali liat nomor kamu di ponselku, dan aku menghubungimu,"
Rama tersenyum tulus, membuat Ira menahan napasnya beberapa detik akibat senyuman maut dari Rama. "Gue ikhlas."
Ira tersenyum dan menggumamkan kata 'terima kasih'
Ira bangkit dan berjengit, "aw,"
Ia lupa akan fakta bahwa dirinya masih bergantung pada selang infus.
"Lo mau bangun? Mau gue bantu?" Tawar Rama
Ira menggeleng, "kamu udah banyak nolongin aku,"
"Ya elah. Cuma gitu doang, udah biasa." Jawabnya. "Sini, gue bantu,"
Rama pun mendekap punggung Ira dan membantunya untuk duduk di pinggir ranjang. Tanpa sadar, dalam posisi ini jantung keduanya tengah berlompat-lompat di dalam sana.
"Ma-makasih, Rama." Ucap Ira.
Rama pun melepaskan tangannya dari punggung Ira. Ia mengangguk. "Oke, sama-sama."
"By the way, apa gue harus ngikutin gaya bahasa lo yang 'aku-kamu'?" Rama nyengir.
Ira menggeleng, "nggak. Nggak usah. Kalau kamu mau pake gue-lo juga gapapa. Aku udah biasa kalo ngomong sama temen aku gini walaupun aku make aku-kamu dan mereka pake gue-lo." Muka Ira memerah. "Duh. Kok aku jadi curhat sih?, maaf."
Rama tertawa sekilas. "Gapapa kali. Oh ya, lo udah nelpon bokap-nyokap lo kalo lo di rumah sakit? Telpon gih, nanti mereka ngira lo ngilang lagi."
Ira memukul kepalanya, dan mencari keberadaan tasnya. "Tasku mana ya?" Gumamnya terlebih untuk dirinya sendiri.
"Apa?"
"Nggak. Cuma lagi nyari tas." Ucapnya sambil mengacak tempat tidur rumah sakit. Tetapi, hasilnya nihil.
"Ada gak?" Tanya Rama.
Ira menggeleng dan mendesah. Mengapa hari ini sangat sial baginya?
"Oh ya, kayaknya masih di mobil gue. Bentar, gue ambilin." Kata Rama tetapi Ira mencegatnya, "kamu udah banyak bantu aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kedai Irama
Ficção AdolescenteRama suka kopi hitam, tetapi kulitnya tidak hitam. Rama dulu suka ke kafe, tetapi semenjak ke Kedai Irama, ia lebih suka ke Kedai itu daripada ke kafe langganannya dulu. Menurut Ira, Rama itu seperti riddle. Sulit ditebak. Menur...