dua puluh - malam di rumah rama

51 3 2
                                    

PART KEDUA PULUH : malam di rumah rama

***

Rama tidak mengerti mengapa Ira mencekal tangannya kali ini. Dan yang lebih ia tak mengerti, mengapa Ira berada di hotel ini?

Rama semakin emosi dengan pria tua di hadapannya ketika pria tua itu bersikap menantang lagi. Ia tak mengerti jalan pikiran orang yang sudah salah, tetapi tidak merasa bersalah.

"Udah, Rama," ujar Ira seraya meyakinkan Rama melalui matanya.

Rama pun menjatuhkan tangannya kembali ke bawah. Sekejap, wajah Rama sudah dipukul oleh pria tua itu.

Rama berusaha tidak mempedulikan apa yang sudah terjadi di wajahnya, ia melirik bundanya yang sudah merubah posisi dengan menenggelamkan wajahnya ke dalam lipatan dua tangannya.

Segera Rama menggendong bundanya. Dan mengode Ira untuk ikut bersamanya. Menerobos kumpulan manusia yang memandangnya dengan hina.

Jelas mereka memandang Rama seperti itu, mereka hanya melihat apa yang sudah terjadi, tetapi tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Rama berusaha tak mempedulikan mereka. Lagipula, memang salah di mata mereka kalau seorang bocah memukul seorang pria tua, apalagi pria itu pemilik hotel ini. Memang sadis.

Banyak pertanyaan yang timbul di benak Rama, begitu pun dengan Ira.

***

Setelah menidurkan bundanya di kamar wanita itu, Rama pergi dari sana dan menemukan Ira yang sedang menggigiti jari tangannya cemas.

"Ira?"

Ira menoleh. "Bundamu masih tidur?"

Rama mengangguk. "Masih. Ayo ke ruang tamu," ajak Rama.

Sampai di ruang tamu rumah Rama yang berada di lantai dasar, Ira sedari tadi hanya bisa terpukau dengan megahnya rumah Rama. Rumahnya dan rumah Rama bagaikan  sawah dan hotel.

Mereka pun duduk di sofa besar berwarna merah darah.

"Pertama-tama, gue mau bilang makasih karena lo udah menahan gue tadi, Ra," ucap Rama, memandang Ira dalam.

Ira mengangguk dan berkata pelan, "sama-sama, Ram."

"Yang kedua, kenapa lo bisa masuk ke hotel itu?" Tanya Rama kemudian.

"Kedai irama mau ada kerjasama dengan pihak hotel itu," ujar Ira. Sebetulnya ia juga masih bingung mengapa setelah ia menelpon pria yang menawarinya kerjasama dan menyuruhnya ke ballroom hotel, Ira malah menemukan Rama yang sudah memukul seorang pria tua dikerumunan orang. Dan Ira pun berusaha menahannya agar Rama tidak kalap.

Rama terlihat terkejut beberapa saat, tetapi sedetik kemudian Rama menetralkan kembali ekspresinya, "oh, pantes. Lebih baik lo tolak tawaran itu, Ra."

Ira mengernyit, "kenapa?"

"Ceritanya panjang. Nanti gue ceritain," kata Rama.

Ira mengangguk pasrah. Untuk sementara, mungkin ia harus menuruti permintaan Rama yang belum ia ketahui alasannya.
Ira tak sengaja melihat bibir Rama yang berdarah. Pasti karena terkena bogeman pria tua itu. "Rama, bibir kamu berdarah."

Rama memegang bibirnya dan merintih pelan. Sebetulnya ia sudah biasa akan hal itu karena ia sering tauran dan bertengkar dengan teman sekolahnya. Namun, kali ini berbeda. Rasanya ingin sekali bibirnya diobati oleh gadis di depannya ini. Bukan karena ingin modus atau semacamnya, Rama hanya merasa sangat-sangat tidak sempurna di hadapan Ira.

"Kotak P3K ada di mana?" Tanya Ira.

Rama menjawab Ira dengan tunjukan melalui jari telunjuknya, ia mengarahkannya ke atas laci yang di sana bertengger kotak putih berisi tulisan P3K.

Tanpa basa-basi, Ira segera mengambil kotak itu dan segera duduk di dekat Rama.

Rama tidak tahu, jantung Ira terasa mau melompat dari tempatnya.

Ira tidak tahu, Rama rasanya ingin sekali memeluk Ira dengan ucapan sayangnya.

Ira segera mengeluarkan kapas dan alkohol dari kotak itu. Lalu menuangkan sedikit alkohol ke kapas putih itu. Dengan perlahan, Ira menempelkan kapas yang dingin tadi ke ujung bibir Rama yang merah. Padahal, Rama perokok, kenapa bibirnya semerah ini? Tidak mungkin 'kan, Rama memakai lipstik. Bibirnya merah alami.

Berada sedekat ini dengan Rama, Ira merasa ingin merutuki dirinya sendiri karena terlalu lancang duduk di dekat Rama.

Mata Rama yang memandangnya lekat, bibir Rama yang kadang bergerak sedikit karena kesakitan, alis Rama yang tebal kadang mengkerut. Ira melihat itu semua dari jarak dekat sehingga membuat pipinya memerah.

Seketika Rama memegang tangan Ira yang masih bertengger di bibirnya.

Ira terkesiap. Begitu tiba-tiba.

"Sakit, Ra... kalau lama-lama gitu," ujar Rama dengan suara rendahnya. Rama tersenyum teduh. Ia suka menggoda Ira sehingga gadis itu merona.

Ira melepas tangannya dari bibir Rama dan segera menuangkan obat merah di kapas yang lain. Ia mulai menempelkan lagi kapas yang kini berwarna kecoklatan itu ke bibir Rama.

Namun kali ini lebih keras dan cepat sehingga Rama meringis pelan. "Aw!"

"Eh, maaf!" Ira refleks menyentuh pipi Rama dan meniup-niup bibir Rama yang terluka.

Rama tahu, Ira bukan bermaksud menggodanya dengan bibirnya yang monyong begitu, tetapi Rama malah ingin menciumnya. Rama terkikik dalam hati ketika membayangkannya. Setelahnya, Rama menghapus pikiran kotor itu, ia masih mengerti tentang menjaga harga diri seorang gadis.

Ketika Ira masih meniup-niup luka Rama, Rama menempatkan tangannya di pipi Ira sehingga gadis itu terdiam. Posisi mereka kali ini benar-benar tidak enak dilihat. Rama memegang pipi Ira, dan sebaliknya.

"Ira... gue sayang lo. Kalau gue mau cerita, lo mau dengar 'kan? Nggak bakal kabur 'kan?" Tanya Rama.

"A-aku... iya, mau dengar kok, Ram. Kamu selalu ada disaat aku terpuruk. Aku pun akan begitu." Ucap Ira sedikit terbata-bata, terlalu terkejut atas pernyataan 'sayang' dari Rama.

Rama tersenyum. "Kalau ceritanya ada sangkut pautnya sama lo, masih mau dengar?"

"Masih."

"Gue harap, lo nggak menyesal setelah ini," ujar Rama seraya mengacak rambut Ira pelan. Ira pun perlahan menurunkan tangannya dari pipi Rama. Mengumpulkan sisa-sisa kapas yang ia gunakan untuk mengobati Rama.

Ira juga harap begitu.

Namun, harapan kadang tak sesuai kenyataan, bukan?

***
.
.
.

10 Juli 2017

A.n : only one word for you; thank you.

Kedai IramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang