tiga belas - hari tanpa mereka

54 3 8
                                    

PART KETIGA BELAS : hari tanpa mereka

***
"My world crumbles when you are not here

Goodbye and I choke" -I Try

Ira sudah selesai melakukan acara pemakaman orang tuanya. Acara itu dibantu oleh pihak pemilik pesawat yang sudah lalai mengendalikan semuanya. Pemilik pesawat Flyhigh masih diperiksa di kepolisian. Sekitar puluhan orang yang meninggal di tempat dan yang lainnya, termasuk pilot dan beberapa pramugari terluka parah. Rencananya, setelah pilot itu benar-benar pulih akan diperiksa kesaksiannya, bagaimana bisa pesawat yang selama ini kerjanya sangat profesional bisa terjatuh dan memakan banyak korban jiwa?

Ira tak punya saudara. Bapaknya adalah seorang yatim piatu dari ia bayi. Sementara Ibunya adalah anak tunggal. Nenek dan kakek dari ibunya sudah lama meninggal karena suatu penyakit yang menyerang kampungnya waktu Ira masih berumur tiga tahunan. Ira benar-benar sendiri sekarang.

Ira tak tahu sekarang harus bagaimana. Ia tak punya apa-apa. Bagaimana dengan pendidikannya nanti? Apa ia harus berhenti sekolah? Yang ia punya sekarang hanyalah Kedai Irama yang bisa ia handalkan untuk memenuhi kebutuhannya. Ya, hanya itu yang bisa ia lakukan. Karena takdir dari Tuhan tidak bisa ditebak, Tuhan pasti sedang memberinya cobaan. Dan Ira harus menjalaninya dengan semangat dan ikhlas tentunya.

Ira pun mengganti pakaian hitamnya dengan baju kaos polos berwarna peach. Dipadukan dengan celana jeans. Ia tak terlalu bisa membuat style-nya agar seperti ABG jaman sekarang. Itu saja menurutnya sudah cukup. Baginya, untuk apa harus barang-barang 'bermerk' jika yang biasa-biasa saja nyaman dipakai? Lagi pula dirinya memang terlihat manis hanya dengan memakai pakaian sederhana seperti itu.

Hari ini ia mempunyai jadwal membersihkan rumah orang tuanya. Yang ia pikirkan terus tentang orang tuanya. Ira masih tak rela harus ditinggal pergi oleh Ibu dan Bapaknya untuk selamanya. Jangan... jangan secepat ini.

Ira pun menitikkan lagi air matanya, entah yang keberapa kali. Maafkan jika dirinya egois. Ira hanya tak ingin orang tuanya pergi meninggalkannya. Maka ia menangis. Walaupun ia tahu, kalau semakin ia menangis, semakin tak tenang juga arwah Ibu dan Bapaknya di sana. Tapi ia tak bisa menahannya. Sungguh.

Saat ia mulai membersihkan debu yang ada di rak buku tua di hadapannya dengan kemoceng, pintu utama diketuk dengan tidak sabaran.

Tokkk... tokkk... tokkk...

"Ira!!!" Teriak seseorang dengan nyaring di balik pintu.

Ira pun menaruh kemoceng yang ia pakai tadi di atas buku. Menyeka air mata, ia berjalan ke arah pintu. "Iya, sabar." Sahutnya dengan suara yang serak.

Dibukanya pintu berwarna cokelat itu dengan pelan. Di depan sana, terdapat Gani dengan wajah khawatirnya. "Gani!" Serunya tak tertahankan.

Ira pun memeluk sahabatnya itu. Gani memeluknya juga dengan sangat erat. "Maafin gue, Ra. Gue gak bisa dateng di pemakaman. Gue gak bisa semangatin lo waktu lo baru tau tante Kina sama Om Adi udah... nggak ada. Maafin gue, hiks."

Gani itu apa adanya. Apa yang ia ingin katakan, ia pasti katakan. Dan Ira senang akan hal itu. Ia senang mempunyai sahabat yang sangat terbuka dan tidak berlebihan serta mau mendengarkan ceritanya dengan baik.

"Nggak apa-apa, Ni. Masuk yuk?" Ajak Ira. "Eh? Kok ada Mosi?" Tanya Ira bingung. Ira melepaskan pelukannya kala ia melihat Mosi yang berada di belakang Gani yang tengah menggaruk-garuk kepalanya, salting.

Kecuali hal ini. Gani tak memberi tahunya hal ini kepada Ira. Sejak kapan mereka menjadi dekat?

"I-iya. Gue ikut karena lo sahabat gue, Nam. Gue turut berduka, ya, Nam." Mosi memeluk Ira dan menepuk-nepuk rambut Ira pelan.

Mosi melepas pelukannya. "Gue gak nyangka Om Adi sama Tante Kina ninggalin kita semua secepet ini. Lo harus ikhlas, Nam. Biar mereka damai di sana, ya?"

"Ya, Mos. Tapi susah ngeikhlasinnya. Aku butuh waktu," Ujar Ira dengan senyuman tipisnya.

"Siappp. Lo harus bisa! Namira harus bisa, oke?" Mosi mengangkat kedua tangan Ira ke atas. Lalu menyengir kuda.

Ira mengangguk dan tersenyum hangat. "Pasti."

Mosi menatap Ira pas di manik mata. Mosi senang melihat senyuman Ira sejak dulu, sejak ia menjadi sahabat Ira. Dan Mosi yakin status 'sahabat' itu akan berubah nantinya, karena ia sangat sayang kepada gadis itu. Sedari dulu. "Jadilah Namira yang ceria. Kalau murung terus, semakin jelek." Ucapnya.

Sampai sekarang, Mosi hanya bisa menenangkan Ira. Setelah itu, ia meledeknya sampai Ira marah. Hal itu sudah cukup membuat hati Mosi bahagia.

Ira melotot. "Mosiii!" Cowok itu memang selalu bisa membuat moodnya naik drastis. Bagi Ira, Mosi adalah sahabat lelaki yang paling mengertinya. Dan status itu takkan berubah bagaimana pun nanti.

"Ekhem." Gani mendeham sehingga memberhentikan pertengkaran kecil di hadapannya.

"Ups. Ada yang cemburu tuh, Mos!" Celetuk Ira.

"Dih, kebo bisa cemburu?" Ledek Mosi.

Kini Gani yang bertengkar dengan Mosi. "Udah berapa kali gue bilang kalau gue gak suka dibilang kebo?"

"Gue cantik!"

"Gue lembut!" (Oke, ini tidak sama sekali)

"Gue putih!"

"Gue langsing!"

"Gue harum!"

"Gue banyak yang suka!" Gani terus berteriak di telinga Mosi seraya mencubit tubuh cowok itu. Ira hanya tertawa melihat kedua sahabatnya itu bertengkar layaknya anak TK.

Mosi berusaha menghindar. "Sayangnya, gue gak suka sama lo!"

"Idih! Siapa juga yang suka sama lo?" Gani berteriak dengan suara cemprengnya.

"Lo!"

"Najis banget!"

"Buktinya lo bilang gue ganteng." Ucap Mosi enteng.

Gani melotot, hendak protes. "Mana ada--e-eh?" Gani mulai berhenti mencubit tubuh Mosi.

"Sial, gue aja deh yang kalah kalau debat sama anak satu ini...," keluh Gani dengan wajah merona. Sayangnya, yang dikatakan Mosi tadi benar.

Ira menutup mulut, menahan tawanya.

"Raaa... tolong gue, temen lo jahadh. Pake D, pake H. Jahadh!" Adu Gani

"Udah, udah. Masuk ke dalem, yuk?" Tawar Ira.

Mosi cekikikan, merasa menang. "Nah, kayak Ira dong. Kyodh. Pake D, pake H."

"HE!"

"Gak layak lo. Amit-amit! Gak pake apa-apa," ejek Mosi.

"JAHADH!!!" Gani pun masuk ke dalam, menyusul Ira dengan wajah sengsara.

Tanpa Ira ketahui, sejak tadi ada seseorang yang melihatnya dari kejauhan. Orang itu tersenyum melihat Ira sudah bisa tertawa, walaupun tak bersamanya. Namun, dalam benak hatinya, ia bingung bagaimana cara mengatakan masalah baru ini ke Ira. Yang ia takutkan, Ira meninggalkannya dan Ira menangis. Dan itu karenanya. Itu saja.

Yang dia lakukan sekarang hanya bisa mengirimkan Ira pesan.

Anon : lo baik-baik aja, kan?

Anon : jangan ditangisin terus ortu lo. Nanti malah gak tenang mereka.

Anon : hari minggu atau kalau ada waktu luang kita ketemuan di kedai irama yuk. See you.

Ia tersenyum dan melajukan mobilnya, meninggalkan rumah Ira dengan perasaan yang berkecamuk.

***

20 01 2017

Kedai IramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang