sepuluh - sendiri

88 8 14
                                        

PART KESEPULUH - sendiri

***

"Bapak sama Ibu mau ke Jakarta?" Ira sangat terkejut mendengar berita yang tiba-tiba itu.

Kina-Ibu Ira, mengangguk. "Iya, Ra. Teman Ibu ngundang Bapak sama Ibu ke Jakarta. Masalah bisnis. Biaya pesawatnya ditanggung sama dia..."

"Wah... enak dong!" Seru Ira.

Adi-Bapak Ira, tersenyum. "Iya, Ra. Ini juga kesempatan besar Bapak untuk bangun usaha lagi."

"Kapan, Bu, Pak?"

"Besok, Ra. Kedai Irama bakal diurus sama Mbak Juni. Dia itu orang yang sering diem di depan kedai. Dia gak punya apa-apa. Kasian... jadi, ibu sama bapak sepakat jadiin dia pegawai." Jelas Kina panjang lebar.

Ira tampak berpikir sejenak. "Hmmm... oke deh. Jangan lama-lama, ya. Ira bakal kangen."

Adi tertawa mendengar anak semata wayangnya yang seakan tak bisa lepas dari dirinya dan juga istrinya. "Bapak sama Ibu bakal balik kok, Ra. Tenang aja."

"Iya, kalau bakal balik Ira juga tau. Maksud Ira, jangan lama-lama. Ira takut sendirian." Ira mengerucutkan bibirnya.

Kina pun mengelus puncak kepala Ira. "Iya... cuma semingguan kok, Ra. Tabungan nanti dikasi ya."

"Tabungan apa, Bu? Dikasi tabungan kayak Ira bener-bener mau ditinggal lama aja lho...," Ira memeluk Kina erat.

"Hahaha! Jangan ngomong gitu dong, sayang. Gini nih akibatnya, Pak. Punya anak gak pernah ditinggal sendirian ke luar. Sekalinya ditinggal langsung mewek." Kina mengelus punggung Ira yang masih berada di dalam pelukannya.

Adi yang disinggung oleh istrinya pun tersenyum.

"Udah, udah. Ira tolong anterin pesanan nih! Keburu dingin pesanan orang," Kina melepaskan pelukannya dan memberikan nampan yang di atasnya berisi sebuah kopi hitam ke Ira.

"Meja nomor sepuluh."

Ira mengangguk dan melajukan langkahnya hati-hati seraya membawa nampan berwarna hijau itu. Ira memang jarang ditinggal orangtuanya ke luar. Jika masalah bisnis, orangtuanya paling meninggalkannya paling jauh ke luar kota, dan paling lama lima hari. Tak pernah sampai ke luar Bali seperti ini.

"Kopi hitamnya. Silahkan dinikmati." Kata Ira saat sampai di meja makan nomor sepuluh.

Orang itu mendongak. Lalu tersenyum. "Makasih, Ira."

Ira mengangguk dan hendak pergi dari meja itu, tetapi pergelangan tangannya tiba-tiba ditahan oleh Rama--orang pemesan kopi hitam di meja nomor sepuluh.

"Duduk dulu, Ra. Gue mau ngomong sebentar." Ujar Rama memohon.

Ira masih diam pada tempatnya. Tak menoleh sedikitpun.

"Kalo gak mau gue..."

"...Gue cium. Huh." Ancaman Rama dipotong oleh Ira.

Ira berbalik ke Rama dan memutuskan untuk duduk di depan lelaki itu.

"Hahaha! Sasaran yang pas," Rama tertawa puas. "Lo kebelet banget pengen dicium sama gue, yaaa?"

"Mesum."

"Hahaha! Gue mau minta maaf." Ucap Rama.

Ira mendongak, "atas..?"

Rama menatap Ira lekat-lekat. "Yang tadi di mobil."

Ira mengangguk. "Ohhh... iya, udah aku maafin."

"Um, gue kesel aja denger lo minta maaf terus. Dan menurut gue gak ada yang perlu dimaafin. Sekali lagi, maafin gue." Jelas Rama sambil menyugar rambutnya hingga acak-acakan. Perempuan manapun akan terpesona melihat pemandangan menakjubkan itu.

Kedai IramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang