~Ali~
Dulu aku sepertinya suka sama dia, tapi entahlah, Rania yang sejak awal berada disampingku seperti menutup langkahku menuju hatinya. Dan entahlah lagi, aku tiba-tiba mengatakan sukaku pada Rania, rasanya mulut tak sesuai dengan hatiku. Rania terlihat melonjak bahagia sambil memelukku. Kulihat dia memandang kami dengan mata yang sepertinya kecewa. Dan aku rasanya tidak merasa bahagia. Aku tak tahu kenapa aku ini?
Sejak bersama Rania, kami mulai tak dekat lagi. Dan memang tak sempat dekat. Saat dia terlihat dekat dengan seorang pria aku merasa seperti tak rela, tapi aneh saja. Kenapa aku rasanya tak bisa mendekat padanya? Seperti ada yang menghalangi. Bayangan yang menghalangi kami setipis tirai. Bayangan gelap. Kenapa?
Dia yang dari tadi aku sebut adalah Prilly Lasandra. Entahlah, dia seperti diiringi bayangan gelap. Apakah hanya aku yang bisa melihatnya?
"Li, mikirin apa?" Rania memeluk lenganku. Aku menoleh dan tersenyum padanya.
"Nggak ada, mikirin kamu kenapa lama ke toiletnya?"
"Baru ditinggal ke toilet saja sudah kangen, gimana nanti kalau aku tinggal seminggu pulang kampung?"
"Lebih kangen kali!"
Hmm bibirku bicara kenapa tak sesuai hati? Aku menyadari tetapi tak bisa mengelak. Padahal setiap dia pulang kerumah orangtuanya aku tak pernah kangen, malah terkadang jiwaku tentram. Anehkan? Tapi setiap dia kembali aku merasa jiwaku ditarik olehnya. Bibir dan hatiku tak pernah satu. Aku pasti akan memeluknya erat dan mengatakan I Miss You. Seperti bukan aku yang mengatakannya.
"Yuk kita pulang, anterin aku ya nanti beli kain buat bikin baju," kata Rania menggandeng lenganku.
"Beli yang udah jadi aja gih!" Aku menyuruhnya beli yang sudah jadi biar nggak ribet. Nanti dia minta temani lagi bikinnya ditukang jahit. Entahlah, aku tak suka kebiasaannya itu. Menghabiskan waktuku tapi anehnya aku tak bisa menolak seperti tunduk aja sama dia.
"Kok gitu? Udah bosan nemenin aku ketukang jahit?" Rania memasang wajah cemberut kalau sudah begitu aku malas bicara lagi. Daripada drama.
=====
~Prilly~
Aku melihatnya dengan wajah yang pucat tersenyum padaku.
"Dias, lo kenapa?"
"Enggak kenapa-kenapa," sahut Dias dengan pandangan heran padaku.
"Beneran? Kok lo pucat?"
"Ah enggak, perasaan gue, gue baik-baik aja, Pril!"
"Ohh," aku melongo. Apa pandangan mataku yang salah. Wajah Dias pucat begitu seperti tanpa darah tapi dia nggak merasakan apa-apa?
"Gue pergi dulu, Pril!" Dias bersiap-siap meraih tas dan merapikan baju seragam kerjanya.
"Hati-hati, Dias!"
"Karna ada midnite sale malam ini, gue agak maleman Pril pulangnya, gue bawa kunci, lo cabut aja kuncinya ya biar gue nanti bisa buka, sapa tau lo udah tidur!"
"Ok Dias, gue juga mau kekampus kok, tapi pulangnya jam 4an sih, ntar si Sri kapan ya pulangnya, gue naruh kunci dimana ya?"
"Lo telpon aja dia Pril!"
"Iya deh ntar gue telpon dia."
Dias berlalu setelah dia pamit lagi. Aku memandangi punggungnya dan melihat langkahnya yang terseok.
"Diasss, lo kenapa?" Aku lari mengikutinya yang berjalan keluar.
"Kenapa sih, Pril?"'Dias mengeryitkan dahinya. Kulihat kakinya. Biasa saja. Jalannya juga biasa saja. Duh, kenapa sih mataku hari ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story Collection
RomanceDisini Berisi kumpulan Cerita Pendek. Setiap Part berisi cerita yang berbeda. Tidak menggantung, tidak bersambung dan langsung tamat. Sengaja digabung di sini supaya readers tidak perlu mencari dan menyimpan lagi Tinggal tunggu update One Short Sto...