Bagian 1
Istikharah
Dinding-dinding kafe bernuansa modern itu seperti bergetar memantulkan suara-suara kegelisahan, kekecewaan, kemarahan dan pertanyaan di kedua bibir dua pasang pemuda dan gadis ini. Padahal sepi. Hening. Lantunan instrumen lagu yang di putar di ruangan mengalun lembut. Adagio Albinoni, gesekan biola menyayat-nyayat dimainkan makin syahdu oleh David Garret ,violin kenamaan dari eropa.
Sebuah pementasan bisu hampir tanpa suara. Kedua wajah ini berhadapan. Datar. Dingin. Hambar. Menu Hawaian chicken , sebuah menu yang kebetulan saja mereka pesan untuk sekedar syarat pertemuan mereka disini. Tak tersentuh.
Fillet ayam yang dilaburi tepung roti dan black papper bertopping mozarella yang luluh di permukaannya. Tak lagi menguapkan aroma sebuah menu yang menggoda untuk disantap. Lemon tea, dan air putih . Kentang goreng yang mendingin. Tergeletak bergeming tetap pada tempatnya sejak pramusaji itu menghidangkannya. Ya. Ini 30 menit yang lalu setelah Fadhol mengutarakan maksudnya pada Syarifah, gadis pujaannya.
Syarifah menitikkan airmata. perkataan Fadhol, lelaki yang sudah tiga tahun memiliki hatinya itu mengurungkan niat untuk mendatangi orangtuanya. Begitu saja terjadi. Kisah yang sudah terjalin, sukacita, saling berbagi, kenangan indah, janji-janji manis dan komitmen hidup bersama sampai pernikahan menjadi lenyap begitu saja. Mengiris – ngiris hatinya kerat demi kerat .
"Ifah ! maafkan aku. Aku tidak bisa mengabaikan begitu saja hasil istikharah Kyaiku. Beliau guruku. Guru ayahku juga. Kealiman beliau sudah tidak bisa diragukan lagi ".
Syarifah menangis luka penuh tanya.
"Apa salahku ? Bukankah engkau sudah lama mengenalku ? Mengetahui sifat-sifatku, kelebihan dan kekuranganku. Mengapa hanya karena hasil istikharah itu engkau mengakhiri semua? Mengapa?Bukankah istikharah hanya dilakukan jika seseorang mengalami keragu-raguan. Apa yang kau ragukan dari aku ? Engkau mengetahui nasabku, teman-temanku, beberapa kisah masa laluku. Mengapa disaat aku dan kedua orangtuaku menaruh harapan padamu, menanti khitbahmu, engkau harus mendatangi Kyaimu ? untuk apa ?"
" Aku sudah menjawabnya,Ifah. Aku hanya seorang santri yang berusaha tawadhu', takut akan hasil istikharahnya orang-orang mukmin. Tidak bisa aku meremehkan begitu saja mata batin seorang ulama. Jika hasilnya baik tentu segera engkau ku khitbah. Tapi...tapi beliau melihat api dalam dirimu, Ifah !".
"Api apa, haah !". Aku tidak melakukan apa-apa. Menjalani kehidupan bersamamu saja belum kulakukan. Tidakkah kau ingin memadamkan api itu bersamaku, lalu bertawakkal pada Allah. Bukankah Allah adalah tempat segala urusan bergantung, bukan kyaimu itu." Syarifah tidak bisa lagi menahan marah. Masa depannya seperti dirampas. Ia jadi membenci semuanya. Istikharah, Kyai Fadhol dan Fadhol sendiri. Lelaki yang dipujanya mendadak menjadi pengecut di matanya.
"Mana jihadmu untuk memperjuangkan cinta kita, Fadh ?. Aku menunggumu. Semudah itukah engkau meninggalkan aku ? Hanya karena simbol api itu ? Api apa itu ? Apa takwil api itu ? Jika jelek aku memperbaiki sikapku. Aku bisa, Fadh."
"Ifah, kamu tidak mengerti. Tidak semudah itu ,Ifah. Bagiku itu adalah peringatan besar , tidak hanya aku, engkau juga. Bahwa kebersamaan kita kelak akan membawa banyak penderitaan. Aku hanya ingin yang terbaik. "
"Bagaimana kau tahu kelak kita menuai banyak penderitaan ? Tidakkah itu lumrah. Setiap perjalanan rumahtangga pasti ada kerikil-kerikil, tidak melulu bahagia".
"Bukan seperti itu, Ifah . Bukan. Engkau tidak mengerti. Engkau tidak akan pernah mengerti".
Syarifah semakin menjadi. Ia tidak sabar. Ia menuntut jawaban.
YOU ARE READING
ISTIKHARAH CINTA
EspiritualBlurb: "Berpihak pada isyarat langit adalah suatu ikhtiar pada hati seorang hamba yang diliputi suatu keraguan, rasa takut dan ketaatan pada sang pemilik hati yang hening dan bening dari nafsu maupun ego. Termasuk cinta. Kepada siapakah cinta diper...