Aku Seorang Diri

79 5 0
                                    

Kota Malang di bulan Juni tak ubahnya seperti kutub utara. Hey. Aku tidak berlebihan. Kamu tidak akan bisa pergi jauh dari kasur dan selimutmu. Aku jamin.

Aku masih asyik bergelung dengan selimutku ketika Metha menarik kakiku dari kasur hangatku. Aku memekik. Rasa dingin yang menjalar di kakiku membuatku seperti kesemutan.

"Han. Bangun. Udah jam 7. Katanya mau perawatan wajah ke Larissa, gimana sih?"

Aku menggeliat menahan kantuk, Metha benar-benar menyebalkan. Aku kembali memposisikan diri di bantal dan menarik selimutku. Aku membalasnya dengan malas, "Nanti aja jam 9. Masih ngantuk."

Metha menarik selimutku, "Ingat. Besok ada bukber SMA, dia datang. Kamu harus buktikan kalau kamu sudah berubah."

Ya, dia datang setiap ada acara kumpul SMA. Sudah lama aku menantikan ini. Bertemu dengannya lagi.

"Loh. Bukannya kamu sendiri yang mengatakan untuk melupakan dan mengikhlaskan masa lalu?" Jawabku dengan suara parau. Aku kembali menggelung tubuhku.

"Heh. Nggak ada tidur lagi ya. Bangun. Bangun. Ini hari Sabtu, Han. Larissa pasti antre kalau sudah siang." Kata Metha sambil memukul pantatku. Aku meringis mengelus pantatku yang panas.

Aku melenggang keluar kamar. Selimutku jatuh ke lantai. Kubiarkan saja tergeletak di sana. Metha melemparkan handuk kepadaku, kuterima dengan senang hati.

Aku melepas handuk dari rambutku setelah mencolokkan hairdryer. Ponsel yang tergeletak di nakas berbunyi nyaring. Abimanyu. Aku menggeser tombol hijau di layar dan mengeraskan suaranya.

"Ya, Bim."

"Kapan pulang kampung, Han? Ada bukber SMP nih."

"Kapan bukbernya, Bim? Aku nanti sore pulang." Jawabku.

"Eh. Itu apa sih suaranya jelek banget." Huh. Abim sepertinya mulai lagi.

"Suara pengering rambut. Siapa aja yang ikut, Bim?" Tanyaku.

"Matiin dulu suara aneh itu. Yang ikut bukber? Aku sama kamu, udah."

"Ha? Itu sih kamu ngajak aku bukber kali, Bim. Ngaku."

"Apaan? Aku kan ngajak bukber teman SMP. Salah saya dimana, Mbak?" Jawabnya ngeles.

Aku tertawa keras. "Orang temen SMP banyak banget kok yang diajak cuma satu. Bilang aja gini, 'Han. Kangen nih. Kapan pulang, aku traktir buka deh' gitu kan lebih baik."

"Ya sudah. Hani, Sayang, buka bersama yuk. Kangen."

"Ih. Najis pakai sayang-sayangan. Kalau cuma berdua, aku yang tentukan tanggalnya ya? Aku ada bukber SMA juga."

Aku mematikan pengering rambutku. Abim masih berceloteh, mengajukan tempat makan yang enak, yang murah, yang tempatnya nyaman. Aku mendengarkan sambil membereskan pengering rambut. Aku menggulungnya kemudian meletakkannya di laci. Aku mengambil sejumput poni, mengepangnya ke samping.

Metha berteriak. "Han. Ayo berangkat, udah jam delapan."

"Bim. Aku mau pergi." Pamitku.

"Oke. Hati-hati ya. Oiya. Jangan lupa titipanku."

"Titip apa memangnya?" Tanyaku bingung.

"Titip salam kalau ketemu cewek cantik." Jawabnya iseng.

Aku meresponnya dengan memonyongkan bibir. "Huh. Maunya. Ya udah. Aku pergi dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Nanti kirim pesan whatsapp kalau sudah pulang. Gratisan telponku masih banyak."

"Oke." Aku menekan tombol merah di layar.

Aku menghela napas panjang. Abimanyu. Aku biasa memanggilnya Abim. Temanku sejak SMP dan sesama jones. Kami selalu berbagi keluh kesah bersama. Ups. Seringnya aku yang berkeluh kesah, dia yang mendengarkan.

Jangan kira karena namanya Abimanyu, dia adalah lelaki gagah yang tampan. Abim biasa saja. Kulitnya cenderung kecoklatan. Badannya kelewat tinggi sampai aku harus mendongak jika berbicara dengannya. Garis rahang tegas cenderung panjang dagunya. Hidungnya mancung, matanya tidak bulat tapi tidak sipit, bulu matanya panjang, dan minus lima setengah. Jika dia tidak memakai kacamata, dia tidak bisa membedakan wajahku dan ibuku dari jauh.

Meskipun begitu, Abim adalah satu-satunya laki-laki yang mau benar-benar dekat denganku. Abim selalu datang saat aku memintanya datang. Abim kerap menenangkan aku yang selalu gampang panik ketika menghadapi suatu masalah. Abim, benar-benar teman yang baik.

Tepukan di bahuku menyadarkan lamunanku di depan kaca. Metha siap dengan pelototan matanya. Aku mendengus.

"Haaaaan. Ini sudah jam sembilan. Siapa yang telpon? Lama banget." Gerutunya.

"Abim. Ngajak aku bukber." Kataku sambil memakai jaket dan menyelempangkan tasku di bahu. Aku melenggang keluar kamar mengikuti Metha.

Metha menghentikan langkahnya. Aku mengelus hidungku yang tertabrak punggung kerasnya. "Abim lagi? Kalian ini apa sih? Teman terlalu dekat. Pacar juga bukan. Berhenti mempermainkan perasaan anak orang deh." Celotehnya.

Aku mengeluarkan motor dari parkiran umum kontrakan kami. Ya. Aku dan Metha menyewa rumah kontrakan dua kamar yang lumayan nyaman. Hanya kami berdua. Metha dan aku bertemu saat kami sekelas di kelas sebelas dan duabelas. Pertemanan kami berlanjut di bangku kuliah karena kami berada di kampus yang sama.

Metha mengambil nomor antrian kami, aku langsung mencari tempat duduk. Sembari menunggu dipanggil, aku membuka akun instragramku, mencari akun yang seringkali aku lihat, @bagussatrio.

"Lagi? Bagus lagi, Bagus lagi. Bisa ya kamu tetap menyukai orang sampai enam tahun." Metha entah sejak kapan duduk di sebelahku, ikut melihat postingan instagram lelaki yang aku sukai sejak kelas sebelas itu.

Aku mengendikkan bahu, menscroll layar. Mataku memanas ketika melihat postingan terakhir yang diunggah dua bulan lalu. Bagus dan seorang wanita sebaya dengan kami. Berangkulan mesra sambil sama-sama menjulurkan lidah. Caption yang menarik perhatianku kemudian, 'long last ya Cha. Ci Bawel, Ci Manja. Thanks for time. Love u.'

Metha buru-buru merebut ponselku. "Dibilang jangan suka stalking juga. Bandel banget."

"Apa yang salah? Aku hanya berharap suatu saat dia bisa melihatku. Kamu juga bilang untuk berubah menjadi lebih cantik biar dia tertarik."

Metha menghela napas panjang. "Kamu itu sudah pada tahap obsesi, Han. Percuma."

Diam-diam dalam hati aku mengamini perkataannya. Walaupun Metha cerewet seperti petasan banting, dia memiliki pengalaman lebih dari kata cukup dibandingkan jomblo sejak lahir sepertiku. Tapi aku mencintainya. Aku mencintai Bagus. Dan aku sadar, aku mencintai seorang diri.

Kami memasuki salah satu ruang dokter. Asal kalian tahu, dulu aku adalah sosok perempuan yang sama sekali tidak memperhatikan penampilan. Aku sebenarnya bukan perempuan tomboy, tapi aku juga tidak memperhatikan penampilanku. Yah. Aku bisa dibilang nerd.

Jangan pikir ada pangeran tampan sejenis Mario Maurer yang menyukaiku seperti di film A Crazy Little Thing Called Love. Tidak ada satupun lelaki yang menyukai gadis sepertiku. Ya. Aku berteman dengan semua orang karena sikapku. Seperti yang aku katakan. Sangat nyaman berteman denganku, tapi tidak untuk menjalin hubungan dengan orang sepertiku.

"Tha. Gimana penampilanku saat ini?" Tanyaku saat benda dengan listrik lemah itu bergulir di wajahku.

"Gimana ya, Han? Lebih bersih dan terawat kok. Beda. Kamu udah bisa merawat diri." Ujar Metha.

"Masih nerd atau nggak?" Tanyaku.

"Lumayan sih. Walaupun belum bisa dandan, kamu sudah bisa memilih baju, sudah pintar mix and match, cocok lah kalau mulai membuka diri."

Ya, Metha mudah mengatakannya karena dia sangat tepat bila dijadikan pacar. Metha cantik dari lahir. Keturunan Jawa Tionghoa dengan harta melimpah dan rendah hati. Pintar, aktif di organisasi. Metha layaknya Kate Middleton, dan aku ibarat peliharaannya.

Akhirnya, aku sadar sekarang. Bagaimanapun aku berusaha, seyakin apapun tekadku, sefeminin apapun aku berubah, Bagus tidak akan melirikku sama sekali.

Exhale The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang